London sedari tadi memutar-mutar tubuhnya di depan cermin. Matanya memicing penuh penilaian sebelum decakan sebal keluar dari bibirnya. “Ck, kau pasti bercanda, kan? Mana mungkin baju ini adalah baju terbaik yang kau miliki,” ujar London dengan raut wajah kusut.
Tidak terima, dia kembali membongkar-bongkar lemari, berusaha menemukan baju yang lebih pantas untuk dia kenakan. Namun, yang didapatinya tetap sama. Tumpukkan kaos di dalam lemari itu sudah tak ada yang layak dipakai. Kaos hitam polos yang dia temukan telah pudar warnanya dan kaos putih polos yang dia kenakan saat ini terlihat sangat kusam. Bahkan, London juga mendapati beberapa kaos yang sudah berlubang dan masih disimpan di dalam lemari. “Tepatnya, kapan terakhir kalinya kau membeli baju baru, London?” Erangnya frustasi.
Jika ada orang yang kebetulan lewat di depan pintu kamar London, sudah pasti London akan dikatai gila saat ini juga. Dia seakan berbicara kepada dirinya sendiri. Tidak ada orang lain di dalam ruangan itu namun dia terus mengomel dan mengoceh seakan sedang memiliki perbincangan dengan orang lain.
Memangnya harus ya beli baju baru? Suara di dalam tempurung kepala London menyahut.
Mendengar jawaban seperti itu, kepala London semakin terasa panas. “Tentu saja. Apakah kau nyaman menggunakan pakaian seperti ini ke sekolah?” Kata London sambil menunjuk-nunjuk baju yang berserakan di atas tempat tidur. “Baju-bajumu ini sudah tidak layak pakai.”
Tidak layak pakai? Memangnya apa yang salah?
London mendengus sinis mendengar pertanyaan itu. “Apa yang salah, kau bilang?” Dia mengambil salah satu baju dari atas tempat tidur dan memperlihatkannya di cermin. “Kau lihat baju ini? Warnanya sudah pudar dan terdapat lubang di beberapa bagian.” London mengambil kaos lain. “Dan, yang ini, baju ini kekecilan di tubuhmu.” Dan lagi, “yang ini. Aku bahkan sudah tidak tahu warna awal baju ini. Entah sudah berapa kali dimasukkan ke dalam mesin cuci hingga warnanya bisa jadi begitu.”
London dapat mendengar tawa sinis dari dalam tempurung kepalanya. Orang-orang sepertimu tidak akan pernah mengerti. Ujarnya. Meminta baju baru, untukmu mungkin semudah menjentikkan jari. Tapi aku? Setiap hari orang tuaku bekerja dari pagi hingga malam untuk membiayai kehidupanku dan adikku. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri betapa beratnya pekerjaan mereka. Bahkan, baju mereka saja jauh lebih terbatas daripada aku. Apakah pantas jika aku masih menuntut banyak hal dari mereka?
London termenung di depan cermin. Sama sekali tidak menyangka jawaban itu yang akan didapatinya. Walau rumah ini memang tampak sangat sederhana jika dibandingkan dengan rumahnya, tapi Lucian tidak tahu kalau kehidupan London ternyata tidak semudah itu.
“Fratello!” Seruan dari luar kamar itu membuyarkan lamunan London seketika. Di ambang pintu, adik London tersenyum lebar dengan napas tak beraturan. “Fratello, kau lama sekali.” Gerutunya. “Idalia sudah menunggumu di bawah sejak setengah jam yang lalu. Apa saja yang kau laku—” Ucapannya mendadak berhenti saat dia mendongakkan kepalanya dan melihat keadaan kamar kakaknya. Baju berserakan dimana-mana, lemari yang terbuka, dan tempat tidur yang sudah tak lagi terlihat akibat tumpukkan baju. Mata Liliana—adik London—mendelik kaget, dia langsung menatap kakaknya dengan pandangan ingin membunuh.
“Fratello, apa-apaan ini!” Jeritan Liliana menggelegar di seisi rumah. Bahkan Idalia yang sedang menyiapkan sarapan bersama orang tua London saja sampai berjengit kaget. Dia langsung berlari ke lantai atas hanya untuk menyaksikan Liliana yang sedang mengomeli kakaknya habis-habisan. “Mentang-mentang hari ini adalah jadwalku membersihkan rumah kau dengan seenaknya memberantakkan kamarmu. Lihat saja besok, akan kubalas kau!”
Idalia tak dapat menahan tawanya saat melihat Liliana yang menjambak rambut London dengan brutal. Interaksi keduanya memang sangat lucu. Wajah kesakitan London juga tampak menggemaskan. Tanpa mereka berdua sadari, mereka berdua telah menjadi bahan tontonan sekarang.
Signora Candreva ikut naik ke atas bersama suaminya saat mendengar keributan di lantai atas. Matanya membulat saat menyaksikan Liliana yang naik di punggung kakaknya dan menjambak rambut London itu. “Ya ampun, Liliana. Hentikan itu, apa yang kau lakukan kepada kakakmu?” Signora Candreva dengan tergesa-gesa menghampiri Liliana dan menarik putri bungsunya itu.
Namun, Liliana masih terus memberontak dan enggan melepaskan cekalannya pada rambut London. “Mamma, lihat apa yang telah fratello lakukan ke kamar ini!” Adu Liliana kepada Signora Candreva. Signora Candreva yang baru menyadari keadaan kamar London pun sama terkejutnya.
“London, apa-apaan kamu itu!” Signora Candreva yang tadinya membela London kini langsung menjewer telinga putra sulungnya itu. “Kenapa kamarmu bisa seberantakan ini, hah? Jawab mamma!”
“I—i—itu,” London menjawab dengan tergagap. Otaknya berhenti bekerja seketika saat rasa sakit dari telinganya semakin menjadi-jadi.
“Cepat bersihkan kamar ini sebelum mamma menyuruhmu membersihkan seluruh rumah ini selama seminggu, mengerti?!”
London mengangguk-anggukan kepalanya pasrah. Dia benar-benar tidak mengerti dengan adat keluarga Candreva ini. Dia bahkan tidak mengerti kenapa dia harus membersihkan semua kekacauan itu sendiri. Apakah mereka tidak memiliki pembantu?
Tidak, sayangnya kami tidak memiliki pembantu. Jawab suara dalam tempurung kepalanya.
Saat signora Candreva akhirnya melepaskan cekalannya pada telinga London, London hanya bisa melemparkan senyum paksa saat melihat pelototan penuh kemarahan di dalam sepasang bola mata signora Candreva. Apakah itu benar-benar mamma kandungmu? Tanya Lucian dalam hati.
Sudah, jangan berlebihan. Salahmu juga yang membuat kamarku terlihat seperti kapal pecah.
Dengan terpaksa, London memunguti satu persatu baju yang ada di lantai, masih dengan sepasang mata yang terus mengawasinya. “Ayo, turun. Kita sarapan dulu.” Ajak signora Candreva. Mata London berbinar-binar mendengar itu. Dia langsung menjatuhkan semua baju yang dia kumpulkan dan berjalan mengikuti mammanya. “Bukan kamu.” ujar signora Candreva saat melihat London yang berjalan mengikutinya. “Selesaikan pekerjaanmu dulu baru sarapan!” Signora Candreva lalu menutup pintu kamar London tepat di hadapan wajah lelaki itu.
London terkesiap dan suara dalam tempurung kepalanya tertawa. Kau bodoh sekali!
Diamlah! Seru Lucian tak terima. Dia lalu mulai memunguti satu-persatu baju yang dia jatuhkan. Setelah sudah terkumpul semua, dia meletakkannya di atas ranjang dan mulai mengambil satu baju untuk dilipat. Namun, dia merasa telah melakukan kesalahan. Hei, kau tahu caranya melipat baju?
Apa? Bagaimana bisa seorang remaja berumur delapan belas tahun masih tidak tahu caranya melipat baju?
***
London dan Idalia berangkat ke sekolah bersama setelah selesai sarapan. Tidak banyak yang mereka bicarakan selama perjalanan. Hanya hal-hal kecil seperti Idalia yang menanyakan apakah jeweran mamma London atau jambakan Liliana tadi masih sakit.