Rasanya seperti mimpi buruk. Idalia dulu pernah berjanji, seumur hidupnya dia tidak akan menginjakkan kaki di tempat terkutuk ini. Namun, lagi-lagi, sesuatu memaksanya untuk datang. Menyeret Idalia untuk kembali memasuki bangunan tua yang tampak reyot bila dilihat dari luar. Idalia berlari sekuat tenaga melewati lorong-lorong gelap pembawa kenangan buruk itu. Tembok-tembok di sekitarnya tampak kusam dan dipenuhi banyak coret-coretan cat semprot merah. Jika Idalia disuruh mendeskripsikan bentuk neraka di dunia, mungkin tempat ini akan menjadi tempat pertama yang muncul di benaknya.
Hal yang membuat Idalia menyebut tempat ini neraka sebenarnya bukan karena lorong-lorong gelap yang menakutkan atau suara bising yang merusak gendang telinga. Tapi…
“Lucian!” Ya, penyebabnya adalah Lucian. Setiap kali Idalia menginjakkan kaki di tempat terkutuk ini, dia pasti akan disuguhkan dengan pemandangan wajah Lucian yang babak belur. Di beberapa bagian wajahnya terdapat lebam biru yang begitu menakutkan, pelipis dan ujung bibirnya juga mengeluarkan darah. Namun, untungnya, kali ini Idalia tidak perlu melihat seberapa buruk bekas luka itu karena lukanya telah tertutup perban.
Wajah Lucian memperlihatkan keterkejutan yang nyata saat melihat Idalia muncul dari balik pintu besi ruangan. Sebenarnya bukan hal yang mengejutkan saat melihat wajah Idalia yang tampak marah. Perbuatannya yang kali ini memang pantas mendapatkan omelan panjang kali lebar dari kekasihnya itu. Tapi, tak dapat dipungkiri, mata Idalia yang memicing tajam ke arahnya membuat Lucian meneguk air liurnya kasar. “Idalia,” Lucian berusaha memaksakan senyumnya walau jantungnya kini tengah berdetak tak karuan.
“Jangan berani-beraninya menunjukkan wajah polosmu itu.” ancam Idalia serius. Matanya melotot sangar ke arah Lucian dan bibirnya dia rapatkan seakan menahan segudang emosi yang sudah siap untuk meledak. “Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu, Loo? Berapa kali aku harus mengingatkanmu kalau berkelahi tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Apakah kau tahu seberapa khawatirnya aku saat mendapat berita kau kembali bertarung di tempat sialan ini.”
Tempat sialan yang Idalia maksud adalah Underground Fighting Circuit. Arena tinju illegal yang merupakan salah satu alasan Idalia sempat menolak Lucian dulu. Idalia membuat Lucian berjanji untuk tidak akan pernah kembali ke tempat ini lagi baru akhirnya Idalia menerima Lucian dan menjadi kekasihnya. Tapi, sekarang, berani-beraninya cowok ini melanggar janjinya sendiri.
“Kau tidak perlu khawatir, Lia. Aku baik-baik saja, kok.” Lucian lalu meraih tangan Idalia yang mengepal erat. Dia membukanya perlahan dan Idalia tidak berusaha melawan. Setelah itu sebuah kecupan lembut mendarat di punggung tangan Idalia.
Rasanya kemarahan Idalia langsung surut saja saat itu. Senyuman yang ditampilkan oleh Lucian malam itu juga sangat manis.
Tapi, mendadak, semuanya berubah gelap dan saat Idalia kembali membuka matanya, dia terbangun di tempat lain. Sebuah ruangan serba putih yang langsung Idalia kenali sebagai UKS. Lucian duduk di atas brankar dan Idalia berdiri di hadapannya. Dan, seperti kejadian sebelumnya Lucian mengecup punggung tangannya!
Namun, perlahan, wajah Lucian berubah, dan tiba-tiba wajah sahabatnya muncul. Lelaki yang mengecup punggung tangannya adalah London bukan Lucian.
Idalia langsung membuka matanya saat mimpi aneh itu menyergapnya. Matanya sontak terbuka lebar hingga kantuk yang biasa dia rasakan saat bangun tidur menghilang tanpa jejak.
Itu bukan mimpi. Itu adalah kejadian nyata yang benar-benar dialaminya. Dan fakta itu membuat semuanya menjadi semakin buruk. Ada apa dengan London? Kenapa dia bisa melakukan hal-hal seperti itu? Pikirannya lalu terlempar ke kejadian di dalam mobil dimana London tiba-tiba menarik dagunya dan nyaris menciumnya. Entah kenapa, pada saat itu—ketika London menarik dagunya—dalam benak Idalia langsung muncul nama Lucian. Seakan bukan London yang menariknya tapi Lucian. Karena, memang Lucian selalu mengecup bibirnya sebelum mereka turun dari mobil.
Tapi, yang terburuk dari semua itu adalah kemarin saat London tiba-tiba muncul dengan pakaian mahalnya. Idalia bukan berusaha merendahkan London atau bagaimana, tapi Idalia sungguh penasaran dari mana laki-laki itu bisa mendapatkan uang untuk membeli baju dengan harga-harga yang sangat gila.
Ekonomi keluarga Candreva seingat Idalia tidak begitu baik. Bahkan bisa dikategorikan menengah ke bawah. Jadi, membeli baju seharga ratusan euro itu sangat tidak masuk akal. Signora Candreva pasti akan sangat marah bila tahu.
“Idalia!” Sebuah suara memanggil Idalia dari luar kamar. Suara wanita. Sepertinya suara mammanya. “Idalia, kau sudah bangun?” Seru mammanya lagi.
“Sudah!” Balas Idalia. Tubuhnya masih belum siap untuk meninggalkan kasur empuk nan nyaman itu.
“Kalau begitu cepatlah bangun. London sudah menunggumu di bawah. Katanya dia ingin mengajakmu lari pagi bersama.”