Setelah memakan es krim coklat bersama Idalia, London pulang ke rumah sambil menahan rasa sakit di perutnya. Perutnya terasa melilit dan peluh terus membasahi dahinya. Dia harus pergi ke toilet sekarang.
"London, kau baik-baik saja?" Di sampingnya, Idalia tampak sangat khawatir saat melihat temannya ini yang terlihat kesakitan.
London tak menjawab. Dia hanya menggeleng sekilas, tak mampu berkata-kata. Sesampainya di rumah, London langsung berlari menuju ke toilet terdekat secepat mungkin. Bahkan dia sampai mengabaikan panggilan mammanya yang menyambutnya.
Signora Candreva tentu saja bingung saat melihat itu. Apalagi dia sempat melihat wajah London yang meringis kesakitan. "Idalia, apakah terjadi sesuatu saat kalian berolahraga tadi?" Tanyanya.
Idalia yang ditanyai langsung mengangguk cepat. "Tadi kami makan es krim bersama dan London memesan es krim coklat." Kata Idalia cemas.
"Apa?" Mata Signora Candreva membulat penuh keterkejutan saat mendengar berita itu. “Bagaimana bisa? London tidak pernah seceroboh ini sebelumnya.” Ujar Signora Candreva terdengar bingung. “Apakah kau yang memesan es krimnya?”
“Tentu saja tidak, Signora.” Sanggah Idalia langsung.
“Lalu, kenapa? Bagaimana bisa?”
Di antara kecemasan keduanya. Liliana tiba-tiba muncul, mendekat ke arah mereka. “Idalia!” Sambut Liliana dengan riang dan langsung berhambur ke pelukan Idalia. “Kau kenapa jarang main ke rumah akhir-akhir ini? Aku sangat merindukanmu kau tahu.” Liliana mengernyit heran saat Idalia malah melemparkan senyum palsunya ke arah Liliana. “Idalia, ada apa?” Dia lalu menoleh ke arah mammanya yang juga tampak resah.
“Kakakmu memakan es krim coklat.” Ujar Signora Candreva.
Liliana kontan membulatkan matanya tak percaya. Dia memang sudah merasa ada yang aneh dengan kakaknya akhir-akhir ini, tapi memakan es krim coklat?! Well, that’s out of line. “Ah, ya sudahlah, ayo sarapan dulu, ma. Aku sudah lapar.” Ujar Liliana berusaha acuh. Tapi, lihat saja nanti malam. Aku akan membongkar kedokmu. Mata Liliana memicing tajam ke arah kamar mandi.
“Maaaa…” rengek Liliana manja saat melihat mammanya malah mengabaikannya.
“Oke-oke, baiklah. Ayo kita makan.”
“Yes!” Liliana langsung berlari menuju meja makan dengan semangat. “Selamat makan!”
***
Untungnya, alergi London tidak begitu parah sehingga perutnya sudah kembali normal pada keesokan harinya. Tetapi, tetap saja, Lucian sudah benar-benar muak dengan keadaan London. Ia masih dapat mengampuni fisik lemah London yang membuatnya menderita saat Nevio memukulnya ataupun baju yang lusuh dan kumal, tetapi alergi coklat? Keterlaluan. Benar-benar keterlaluan.
“London,” suara ketukan pintu serta suara seorang perempuan yang memanggilnya kontan membuat perhatian London teralihkan.
London dengan segera berjalan ke arah pintu dan membuka kuncinya. “Ya?” Ternyata itu Idalia. “Hai, kau ngapain pagi-pagi ke sini?” Tanya London sedikit terkejut.
“Aku hanya ingin memeriksa kondisimu.” Jawab Idalia. “Apakah kau sudah sembuh?”
“Yup, perutku sudah tidak sakit lagi.” Ujar London senang. “Kau tidak perlu khawatir.”
“Syukurlah,” Idalia mendesah tak kalah lega. “Kalau begitu bisakah kau menemaniku ke Via Condotti hari ini? Aku perlu membeli handphone baru.”
London tersenyum cerah mendengar tawaran itu. “Sure.” Balasnya senang, akhirnya ada sesuatu yang bisa dia lakukan hari ini. “Jam berapa mau pergi?
“Jam setengah dua belas? Bagaimana menurutmu.”
“Oke.”
“Oke. Kalau begitu aku siap-siap dulu. Bye, London.”
“Bye,” London lalu melambaikan tangannya dan menunggu Idalia hilang dari pandangan baru kemudian menutup pintu kamarnya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas siang, namun Lucian tidak memperhatikannya. Ia sedang mengacak-acak lemarinya untuk mencari salah satu baju yang ia beli saat ia berbelanja di Via Condotti. Sayangnya, baju itu tidak dapat ditemukan meskipun ia sudah mencari dengan teliti selama setengah jam.
“Ini memang gila,” gumam Lucian dengan nada pasrah, “mana mungkin baju itu tidak ketemu? 600 euro hilang begitu saja.”