“Idalia, kau ingin membawaku kemana?” Idalia hanya tertawa mendengar pertanyaan Lucian. Mata kekasihnya ditutupi oleh kain hitam, dan Idalia menuntunya dengan hati-hati ke arah tempat tujuan mereka. “Idalia…” Lucian merajuknya lagi, “ayolah, kau tahu aku tidak suka blindfold seperti ini.”
“Sabar saja. Jangan khawatir, it’s going to be worth it.” Ujar Idalia dengan nada meyakinkan. Akhirnya, ia berhenti menarik kekasihnya itu dan berkata, “bukalah penutup matamu.”
Lucian pun melepaskan kain yang diikat sekitar kepalanya dan matanya membulat. Di hadapannya adalah sebuah gazebo putih yang telah didekorasi dengan fairy lights. Di tengah gazebo itu terdapat sebuah meja makan yang berisi semua makanan favorit Lucian, dan bunga mawar pink yang dulu ia gunakan untuk menyatakan perasaannya kepada Idalia tampak anggun di dalam sebuah vas. Ada pula sebotol anggur di atas meja.
“Lia, kau menyiapkan semua ini?” Tanya Lucian, masih diselimuti dengan rasa terkejut.
Idalia tersenyum kecil. “Aku mendapatkan sedikit bantuan dari Signora Regio dan kokimu.”
Hati Lucian berbunga-bunga. Kekasihnya telah bekerja keras untuk menyiapkan perayaan ulang tahun spesial untuknya setelah keramaian pesta berakhir. Meskipun orang tuanya telah mengundang banyak teman-temannya untuk merayakan ulang tahunnya beberapa jam yang lalu, bagi Lucian, kejutan Idalia lebih berarti dari semuanya. Ia tahu Idalia bukanlah orang yang terlalu romantis dan ia tidak terlalu menyukai skinship, maka kejutan ini sangat menyenangkan hati Lucian.
Dengan mata berbinar-binar, Lucian menggendong Idalia dan memutar-mutarnya sambil tertawa. “Terima kasih, mi amor,” ujar Lucian dengan bahagia, “ti amo.”
Idalia tetap tersenyum, namun ia tidak mengatakan apapun. Lucian mengerti bahwa kata ‘cinta’ adalah kata yang sangat sulit diucapkan di dalam kehidupan Idalia. Sejak Lucian mengajak Idalia untuk berkencan tujuh bulan lalu, Idalia belum pernah menyatakan cintanya kepada Lucian, sedangkan Lucian mengatakan ti amo hampir setiap hari.
“Tidak apa-apa, Idalia,” Lucian mengelus rambut gelap kekasihnya itu, “aku akan menunggu sampai kau siap untuk mengatakan ti amo kepadaku. Tak peduli seberapa lamanya waktu yang kau perlukan, aku akan terus menunggumu.”
***
Idalia terbangun dengan sakit kepala yang cukup hebat. Alasannya? Ia tidak bisa tidur semalam karena ia memiliki terlalu banyak pikiran. Lebih tepatnya lagi, karena besok adalah ulang tahun Lucian, dan Idalia harus merayakannya tanpa Lucian.
Idalia mengambil ponselnya dari meja di samping ranjangnya dan melihat tanggal yang berada di lock screen miliknya, yaitu 12 November. Hari ulang tahun Lucian yang ke-18 telah tiba.
Setelah ia mempersiapkan diri, ia pun membawa tasnya dan pergi ke sekolah. Untungnya, Idalia tidak memiliki kegiatan after school hari ini, sehingga ia dapat segera mengunjungi Lucian sepulang sekolah. Bangunan SMA yang cukup megah berdiri dengan bangga di bawah terpaan matahari, dan Idalia teringat akan hari-hari dimana ia dan Lucian pergi ke sekolah bersama, mengikuti pelajaran bersama, bergosip tentang guru bersama…
“Kau lagi.” Suara menyebalkan itu membuyarkan ingatan manis Idalia. “Pembunuh.”
Idalia hanya memutar bola matanya dan mengabaikan Brenda. Tetapi, perempuan menjengkelkan itu tetap berdiri di hadapan Idalia dan menghalangi jalannya ke kelas. “Apa maumu?” Tanya Idalia dengan nada menantang. “Brenda, sejujurnya, aku sedikit bingung dengan kelakuanmu. Kau selalu berada dimanapun aku berada, kau selalu mencari kesempatan untuk berbicara kepadaku. Sepertinya, kau sangat menyukaiku, benar kan?”
Mata Brenda membulat sempurna mendengar perkataan Idalia. Wajahnya dipenuhi oleh amarah dan ia mengangkat tangannya seakan-akan ingin menampar Idalia, namun seseorang mencegat tangannya dengan kuat.
“Cukup.” Perintah London. “Dasar pengganggu.”
“Kau—” Brenda tampak seperti gunung berapi yang akan meletus, namun sebelum ia dapat meledak dengan emosi, London sudah mendorongnya ke samping dan menarik Idalia masuk ke dalam kelas.
“Ada apa denganmu?” Tanya London dengan pasrah. “Kau tahu dia akan semakin membara jika kau menanggapinya.”