London memandang dari kejauhan, rumah mewah yang dulu menjadi tempatnya berpulang. Entah apa yang membawanya kemari, mungkin kerinduannya, mungkin juga keletihannya. Memulai hidup baru selama seminggu ini nyatanya tidak membuat Lucian bisa terbiasa. Kehidupan London yang jauh berbeda dengannya membuat Lucian merasa kehilangan banyak hal.
Di antara semua kejenuhan yang Lucian rasakan, ada satu yang membuatnya merasa paling tertekan. Sudah seminggu berlalu dan Idalia sama sekali tidak merasakan kehadirannya. Lebih tepatnya, Idalia terus menyangkal keberadaan Lucian. Apapun yang Lucian berusaha perlihatkan kepada Idalia, Idalia langsung menutup matanya karena wujud London yang Lucian gunakan. Ternyata memang sesulit itu.
Siapa juga yang percaya kalau orang mati dapat hidup kembali dengan kesempatan kedua? Apalagi orang logis seperti Idalia. Ujar Lucian dalam hati, mencemooh dirinya sendiri.
Hei, mau sampai kapan kau berdiam di sini? Tanya suara London yang menggema di dalam tempurung kepalanya.
Entahlah. Aku masih ingin menenangkan diri sebentar.
Ingatlah, Lucian. Waktumu tidak banyak.
“Aku sudah tahu, sialan! Berhenti mengingatkanku hal yang sama terus-menerus!” Seru Lucian tak terkendali. Dia memukul setir mobilnya sarat frustasi. Setelah itu, suasana benar-benar hening. London tidak lagi bersuara. Dia membiarkan Lucian melakukan apapun yang dia mau. London pun tahu kalau Lucian sedang mengalami masa yang sulit. Berurusan dengan Idalia memang tidak pernah menjadi hal yang mudah.
Diantara sepi yang menyelimuti, Lucian dapat melihat mobil mammanya yang baru saja keluar melewati pagar. Lucian menatap nanar hal tersebut. Senyum miris terpatri di wajahnya. Di antara segala hal yang Lucian terpaksa tinggalkan setelah kecelakaan itu, Lucian tahu bahwa hal paling ia rindukan adalah mammanya. Biasanya mammanya selalu memiliki saran terbaik untuk semua kekacauan yang diperbuatnya.
Kalau begitu, datangilah dia. Suara itu menggema di dalam kepalanya.
“Tidak semudah itu, London. Setelah aku pikir-pikir lagi, mungkin waktu itu ketika mammaku menyerahkan barang-barangku kepadamu, dia hanya sedang merasa kalut. Mana mungkin dia benar-benar percaya kalau jiwa anaknya terjebak di dalam tubuhmu? Itu sangat tidak masuk akal.”
Itu masuk akal. Bantah London Apakah kau tidak pernah dengar kalau ikatan batin seorang anak dan ibunya itu sangat istimewa. Aku pernah membaca sebuah artikel tentang hal itu dan setelah melihat hubunganmu dengan mammamu, aku semakin percaya bahwa ikatan batin seorang anak dengan ibunya itu memang benar-benar ada.
“Aku tidak menyangka kau percaya dengan hal-hal seperti itu.” Lucian mencibir.
Sudah. Berhentilah membuang-buang waktu. Datangilah mammamu jika kau benar-benar merasa hanya dia yang dapat memberikan saran terbaik.
Lucian menutup matanya dan meneguhkan hatinya. “Oke. Kita akan menyusul mammaku.” Katanya pada akhirnya. Lucian sudah bersiap untuk menyalakan mesin mobilnya ketika London malah bertanya.
Tunggu, apakau kau tahu kemana mammamu pergi?
London—yang tubuhnya berada dibawah kendali Lucian—terkekeh geli mendengar pertanyaan itu. “Tentu saja, bukannya kau barusan bilang kalau ikatan batin seorang anak dengan ibunya itu istimewa.”
What?! Bukan seperti itu yang kumaksud, Lucian.
“Sudahlah, percaya saja padaku.”
***
Tak berapa lama kemudian, London sudah tiba di depan sebuah gedung perkantoran yang menjulang tinggi di hadapannya.
Tempat apa ini?
“Ini adalah tempat kerja papáku.” London pun lalu turun dari mobil. Tepat sekali sebelum memasuki gedung, dia melihat mammanya yang baru saja keluar. London langsung berhenti melangkah, begitupun mammanya yang ternyata juga melihatnya.
Signora Regio lah yang tersadar duluan. Dia langsung berlari kecil menghampiri London. “Lucian? Apakah ini kau?” Tanya Signora Regio memastikan.
London menganggukkan kepalanya dan detik itu juga Signora Regio langsung menariknya dalam sebuah pelukan. “Untuk apa kau ke sini, nak? Apakah kau butuh sesuatu?”
“Aku—” London merasa semua kata tercekat di ujung lidahnya. “Aku hanya merindukanmu saja, ma.”