London hari ini tidak dapat menemukan Idalia di sekolah. Dia sudah menunggu di depan kelas perempuan itu cukup lama—bahkan hingga kelas kosong—tapi Idalia tak ada. London berusaha untuk bertanya kepada teman-teman Idalia, tapi malah jawaban-jawaban sinis yang ia dapatkan. Seperti contohnya:
“Ah, pembunuh itu, mungkin dia merasa bersalah dan mengakhiri hidupnya.”
“Ya, pembunuh sepertinya memang tak pantas hidup.”
“Untuk apa kau bertanya tentangnya? Jangan-jangan kau ikut merencanakan pembunuhan Lucian bersamanya, ya? Ah, aku hampir lupa, kau kan memang alasan dia membunuh Lucian. Cih, padahal apa bagusnya dirimu?”
Efek berita palsu yang disebarkan Brenda ternyata belum surut juga. Ya, apa yang bisa London harapkan? Ini baru 1 hari berlalu, tentu berita se-menggemparkan itu tidak akan mudah terlupakan. London pun berjalan ke kantin sendirian ketika tiba-tiba seseorang mengalungkan tangan di pundaknya. London reflek menoleh. Ah, ternyata teman London itu. Siapa namanya?
Marte. Jawab London mengingatkan.
“Hei, kau kemana saja kemarin? Aku menunggumu di kantin dan kau tidak ada. Jangan-jangan berita kau membolos kemarin itu benar, ya?” Tanya Marte curiga.
London pun menganggukkan kepalanya. “Aku tidak tega melihat wajah tertekan Idalia.”
“Ah, ya, aku tidak mengerti bagaimana semua orang bisa percaya dengan berita sampah seperti itu. Kasihan sekali, Idalia. Padahal dia adalah orang yang baik, tidak seperti si Brenda itu. Penuh pencitraan, huh!” Kata Marte berapi-api.
“Siapa yang kau bilang pencitraan?”
Tubuh Marte berubah kaku seketika saat mendengar suara perempuan yang bertanya dengan nada galak itu. Tanpa membalikkan badan pun, Marte sudah tahu itu siapa. Pasti si perempuan penuh pencitraan itu. Ah, sial! Marte pun perlahan membalikkan badannya dan dengan wajah takut-takut dia memaksakan sebuah senyuman. “Hai, Brenda. Kau terlihat cantik sekali hari ini.” Kata Marte, berusaha menyelamatkan nyawanya.
London pun ikut membalikkan badannya dan mata keduanya bertemu. Brenda menatap London dengan sorot meremehkan. “Hei, kau kira berpakaian seperti Lucian akan membuatmu terlihat sehebat dia?”
Terkadang, dalam hati, Lucian bingung sebenarnya dengan siapa dirinya berteman selama ini. Kenapa ketika dia menjadi London, rasanya semua temannya itu merupakan pemegang peran antagonis. Nevio menonjoknya, Brenda merendahkannya, untung dia belum ada interaksi buruk dengan Luigi. “Aku tidak menyangka ternyata mulutmu sepedas ini. Kukira tuturmu selalu lembut seperti saat sedang bermanjaan dengan Nevio.” Kata London yang sejujurnya sudah sangat muak dengan Brenda. Dia tidak menyangka ternyata makhluk hidup yang ia anggap sebagai temannya dan orang yang rela dia bela mati-matian—bahkan sampai bertengkar dengan Idalia—ternyata memiliki kepribadian bak iblis.
Brenda tersenyum sinis. “Seperti baru pertama kali saja aku berbicara seperti ini kepadamu.” Katanya tanpa rasa bersalah. Dia lalu melewati London dan Marte begitu saja bersama gerombolan teman-teman populernya.
London dan Marte masih tak habis pikir. “Dasar sombong sekali!” Ujar Marte kesal. London memukul kepala Marte mendengar itu. “Hei, kenapa kau memukulku? Memangnya aku salah?”
“Tentu saja salah. Seharusnya kau bilang terus terang di depannya.” Ujar London.
Marte sontak bergidik ngeri membayangkan apa yang akan Brenda lakukan bila dia nekat mengatakan itu. “Kau saja. Aku masih sayang dengan nyawaku.”