Malam hari ini, semua murid sedang makan malam. Malam ini hanya akan ada acara seperti permainan, dan lain-lain. Saat yang lain sedang makan, Farel yang tadinya hendak makan jadi mengurungkan niatnya saat melihat Lady berjalan sendiri dan mengambil duduk di sebuah pohon besar yang tumbang. Ia hanya sendiri di sana dengan cahaya yang hanya diterangi bulan. Farel pun berjalan ke arah Lady dan ikut menemani Lady di sana.
"Sendiri aja?" tanya Farel basa-basi.
"Nggak, gue sama lo!" jawabnya.
Mereka berdua saling tatap, lalu mereka tertawa kecil dan setelah itu mereka berdua kembali terhening. Lady mendongkakan kepalanya melihat bulan yang terang menyinari dirinya. Farel juga jadi mengikuti apa yang dilakukan Lady.
"Lo beneran nasibnya sama kayak gue dan anak-anak yang lain?" tanya Lady sembari menengok ke arah Farel.
Farel melihat ke samping dan tersenyum. "Gue gak tau, apa gue termasuk kategori kalian atau bukan. Yang jelas, kehidupan gue dulu sama kayak kalian!" jawab Farel.
Lady mengangguk-ngangguk paham.
"Mmm... Lo dulu pernah nanya kan? Gue menengah atau tinggi!" lanjut Farel.
Lady mengangguk, menjawab pertanyaan Farel. "Nah, gue bohong saat itu. Sebenarnya gue juga bisa dibilang tinggal di rumah besar, dan mewah." jujur Farel.
Lady menyipitkan kedua matanya, menatap sinis karena tak percaya. "Beneran?" tanyanya.
"Iya benar, itu sebabnya gue gak bisa tidur kalau gak di kasur." jawabnya meyakinkan.
Lady manggut-manggut paham. "Pantesan tangannya lembut!" gumam Lady.
"Apa?" tanya Farel.
"Hmm.. Nggak, gak papa kok!" jawab Lady sedikit salah tingkah.
Mereka kembali terhening, lalu Lady kembali membuka pembicaraan. "Lo inget gak, saat kita pertama kali ketemu?" tanyanya.
"Yang lo lagi pake bedak!" tebak Farel.
Lady mengangguk. "Sebenarnya waktu itu gue cuman mau ngilangin warna pipi gue yang memerah!" jujurnya.
"Memerah kenapa?"
"Bekas tamparan." jawab Lady. "Dan lo inget hari kedua? Lo bilang gue udah cantik walau gak pake bedak, itu emang bener. Dan seperti waktu itu juga, gue cuman mau ngilangin bekas tamparan mama gue doang." lanjutnya.
"Papa lo gak berbuat apa-apa gitu?"
Lady tersenyum miring dan geleng-geleng kepala. "Papa mau berbuat apa, dia hanya bisa bilang maaf doang!"
"Dan-" ucapan Lady disela Vino yang datang bersama Juan dan Zara.
"Hayo, pada ngapain?" tanya Vino mendekat pada mereka.
"Mandi!" jawab Lady ngasal.
"Mandi kok di sini?" tanya Juan heran.
"BODO AMAT!" ujar semuanya kesal.
Vino dan Juan duduk di bawah yang langsung diikuti Farel. Dan Zara duduk di samping Lady.
"Tadi pada ngapain sih?" tanya Zara.
"Biasa, curhat doang." jawab Lady yang disertai anggukkan dari Farel.
"Curhat tentang apa?" tanya Vino.
"Keluarga bahagia." jawab Lady sembari tersenyum miring.
Vino, Zara dan Juan mengangguk paham. Lalu mereka terhening beberapa waktu hingga Vino kembali membuka percakapan.
"Lo tau Rel, terkadang kebahagian kita saat di sekolah sama di rumah itu beda." ujar Vino. "Gue di sekolah terlihat angkuh, bahagia, jail, dan gue anak dari pemilik sekolah. Tapi keadaan di rumah gue gak seperti itu." lanjutnya mulai bercerita.
"Gue punya kakak perempuan, dia udah kerja, udah bisa cari uang sendiri dan membanggakan papa. Sedangkan gue, selalu dibenci mereka berdua, sial!" Vino mengumpat kesal di akhir katanya.
"Di mana letak kesalahan gue? Hanya karena, mama gue meninggal saat ngelahirin gue, kenapa papa sama Sonya yang benci gue?" lanjut Vino. Matanya mulai berkaca. "Apa gue yang ngambil nyawa mama, kalau gue mau saat itu juga gue gak usah lahir, biar mama ada dan papa gak akan nyalahin gue!" Vino mengakhiri ceritanya sebelum ia benar-benar menangis.
Juan tersenyum kecil. "Kalau tentang keluarga, gue gak bisa berkata apa-apa!" ucap Juan mengundang pandang keempat sahabatnya itu.
"Gue cuman kasian, ngeliat dua adek gue yang masih kecil harus menangis di pelukan gue. Gue nenangin mereka, sedangkan gue juga butuh ketenangan, hiks.." Juan mulai menangis, dan Vino segera mungkin merangkul pundak Juan.