Saat usiaku tujuh tahun, Ibu dan aku sudah pindah tiga belas kali. Kami menyewa bermacam tempat secara tidak resmi, suatu kali tinggal di kamar berperabot milik seorang teman, kali lain menempati rumah yang disewakan sementara oleh penyewanya. Tempat terakhir menjadi tidak nyaman lagi saat seseorang menjual kulkas tanpa pemberitahuan. Keesokan harinya, ibuku menelepon ayahku, meminta tambahan uang, dan ayahku menaikkan pembayaran tunjangan anak sebesar dua ratus dolar per bulan. Kami pindah lagi ke sebuah apartemen di lantai dasar bangunan kecil di belakang sebuah rumah di Channing Avenue, Palo Alto—tempat pertama yang disewa ibuku dengan menggunakan namanya sendiri di surat kontrak. Tempat baru kami, hanya untuk kami.
Rumah di depan apartemen kami bergaya Craftsman warna cokelat gelap dengan tanaman ivy bersaput debu di tempat yang sebelumnya mungkin merupakan halaman rumput, serta dua pohon ek scrub melengkung yang nyaris menyentuh tanah. Jaring laba-laba membentang di antara kedua pohon dan tanaman ivy, mengumpulkan serbuk sari yang bersinar putih cemerlang terpapar cahaya matahari. Dari jalan sama sekali tidak terlihat ada kompleks apartemen di belakang rumah itu.
Sebelum di sini kami pernah tinggal di kota-kota sekitar—Menlo Park, Los Altos, Portola Valley—namun Palo Alto adalah tempat yang akhirnya kami sebut rumah.
Di sini tanahnya hitam, basah, dan wangi; di balik bebatuan aku menemukan serangga-serangga merah kecil, cacing-cacing berwarna merah muda dan abu, kelabang-kelabang kurus, dan kutu kayu sewarna batu yang bergelung menjadi bulatan keras saat kuusik. Udara di sini beraroma eukaliptus serta tanah, embun, dan rumput potong yang dihangatkan cahaya matahari. Jalur kereta api membelah kota menjadi dua; di dekatnya terdapat Stanford University, dengan kapel besar berumput yang berbentuk oval dan berpinggiran emas di ujung jalan berpagar pohon palem.
Pada hari kami pindah ke tempat ini, ibuku memarkir mobil, lalu kami membawa masuk barang-barang kami: peralatan dapur, selembar kasur futon, sebuah meja, sebuah kursi goyang, lampu-lampu, buku-buku. “Ini sebabnya para nomad tidak menyelesaikan apa pun,” dia berkata, mengangkut sebuah kardus melewati ambang pintu, rambutnya berantakan, tangannya berbercak cat dasar putih. “Mereka tidak tinggal di satu tempat cukup lama untuk membangun apa pun yang awet.”
Ruang tamunya dilengkapi pintu kaca geser yang membuka ke beranda kecil. Sesudah beranda terhampar sepetak rumput kering dan widuri, sebatang pohon ek dan sebatang pohon ara—dua-duanya tinggi dan kurus— serta sederet pohon bambu, yang menurut ibuku sulit disingkirkan begitu sudah berakar.
Setelah kami selesai menurunkan barang, dia berdiri berkacak pinggang, dan kami bersama-sama mengamati ruangan itu: dengan semua harta benda yang kami miliki, ruangan itu masih terlihat kosong.
Esoknya, dia menelepon ayahku di kantornya untuk meminta bantuan.
“Elaine akan datang membawa van—kita pergi ke rumah ayahmu untuk mengambil sofa.” Ayahku tinggal dekat Saratoga di Monte Sereno, daerah pinggiran kota yang jaraknya sekitar setengah jam. Aku belum pernah mendatangi rumahnya atau mendengar nama kota tempat dia tinggal—aku hanya pernah bertemu dengannya beberapa kali.
Ibuku bilang ayahku menawarkan sofanya yang tak terpakai waktu dia menelepon. Tapi dia tahu, kalau kami tidak segera mengambilnya, ayahku akan membuang sofa itu atau membatalkan tawarannya. Dan siapa yang tahu kapan kami bisa punya akses ke mobil van Elaine lagi?
Aku berada di kelas satu yang sama dengan anak kembar Elaine, laki-laki dan perempuan. Elaine lebih tua daripada ibuku, dengan rambut hitam keriting dan helai-helai mencuat yang menciptakan lingkaran halo di sekeliling kepalanya jika tersorot cahaya yang pas. Ibuku muda, sensitif, dan cemerlang, tanpa suami, rumah, dan keluarga yang dimiliki Elaine. Sebaliknya, dia punya aku, dan aku punya dua pekerjaan: pertama, melindungi ibuku supaya dia bisa melindungiku; kedua, membentuk dan menempanya supaya dia mampu menghadapi dunia, seperti kita mengampelas permukaan kayu agar cat bisa menempel.
“Kiri atau kanan?” Elaine terus-terusan bertanya. Dia sedang buru-buru— ada janji temu dengan dokter yang harus dipenuhinya. Ibuku disleksia, tapi berkeras bahwa bukan itu alasannya menghindari peta. Tetapi karena peta sudah ada dalam dirinya; dia bilang dia dapat menemukan jalan kembali ke tempat mana pun yang pernah didatanginya, meskipun butuh beberapa belokan sebelum dia mengenali daerahnya. Namun, kami sering tersesat.
“Kiri,” katanya. “Bukan, kanan. Sebentar. Oke, kiri.”
Elaine lumayan jengkel, tapi ibuku tidak minta maaf. Dia bertingkah seakan-akan orang yang ditolong dan orang yang menolong sama pentingnya.