KABUT yang semalam menyelimuti Gunung Lalingga perlahan-lahan lenyap dari pandangan mata, manakala matahari manebarkan sinarnya dari ufuk timur. Sekawanan kekupu bersayap warna-warni yang berterbangan hinggap dari tanaman bunga satu ke tanaman bunga lainnya. Burung-burung yang berloncatan dari dedahan satu ke dedahan pohon lainnya mengicaukan salam pagi.
Pada dedahan pohon mahoni, seekor burung rajawali jelmaan Dharmasanta hinggap dengan mata lurus ke arah mulut Goa Gato yang mengaga di depan Umbul Loco. Sebuah umbul berair sejuk, jernih, dan berwarna hijau kebiruan dengan ikan-ikan emas yang berenangan di dalamnya.
Menyaksikan kesegaran air Umbul Loco, rajawali jelmaan Dharmasanta itu terbang menukik ke tepiannnya. Namun sebelum meminum air umbul itu, kedua matanya yang tajam melihat sesosok harimau putih di depan mulut Goa Gato. Tanpa berpikir panjang, rajawali sang penjaga Pangeran Pati Syahwata yang tengah bersembunyi di dalam goa itu sontak melesat terbang. Melabrak harimau putih itu.
Menyadari keselamatannya mulai terancam, harimau putih jelmaan Nyai Mlatiputih itu menghindari serangan ganas dari sang rajawali dengan berlari kencang meninggalkan mulut Goa Gato. Selepas rajawali yang memburu harimau putih dari mulut goa itu, muncullah Dewi Perjimasari dari balik rerimbun semak-semak. Melangkah ke tepian Umbul Loco. Melepas seluruh pakaian lelakinya. Menuruni umbul. Merendam tubuhnya ke dalam air umbul itu.
Seusai tubuhnya dirasakan telah bersih dan segar kembali, Dewi Perjimasari beranjak dari dalam air Umbul Loco. Namun sebelum mengenakan pakaiannya di tepian umbul itu, ia tersentak. Manakala kedua matanya menangkap Pangeran Pati Syahwata yang berdiri mematung di depan mulut Goa Gato tengah mengawasinya dengan pandangan nanar. Tanpa merasa sungkan, ia melangkah ke arah Pangeran Pati. “Kenapa Pangeran memandangku seperti itu? Bukankah Pangeran menghendakiku tampil seperti ini? Bila Pangeran menghendakiku, lakukan! Itu lebih baik ketimbang Pangeran hanya bercinta dengan bayangan sembari mengintipku yang tengah mandi di kolam dari balik tembok tamansari.”
“Tidak! Ananda tak akan melakukan, Ibu.”
“Jangan munafik, Pangeran!”
“Ananda tidak munafik. Tapi, Ananda takut bila Paman Dharmasanta menconangi perbuatan kita.”
“Abdi setiamu itu tak bakal menconangi perbuatan kita, Pangeran. Sejak pagi, ia meninggalkan Goa Gato. Memburu harimau putih yang akan memangsa Pangeran.”
“Sungguhkah, Ibu?”
“Percayalah padaku!” Dewi Perjimasari meraih kedua lengan Pangeran Pati Syahwata untuk diletakkan pada ke dua bahunya. “Tunggu apa lagi, Pangeran! Tak perlu sungkan-sungkan! Ladang kerontang yang telah tersiram gerimis pertama awal musim hujan telah siap dicangkul.”
Tanpa berpikir jauh, Pangeran Pati Syahwata yang sekian lama memendam hasrat asmara segera membopong Dewi Perjimasari ke dalam Goa Gato. Hanya dalam hitungan jari pada satu tangan, Pangeran Pati Syahwata telah menyerupai petani yang mencangkul ladang terbuka. Keduanya kemudian lunglai dalam satu dekapan yang basah keringat.
***
Bagaikan kilat, rajawali jelmaan Dharmasanta menyambar-nyambar sembari menghunjamkan cakaran-cakaran maut pada harimau putih jelmaan Nyai Mlatiputih di dalam Hutan Gandamayit. Hingga darah merah kehitam-hitamnya mengucur dari kepala dan punggung harimau itu.
Lantaran rasa sakit yang tak terperi, harimau putih itu berubah wujud menjadi Nyai Mlatiputih yang mengenakan mori koyak-moyak dan penuh dengan bercak-bercak darah. Sembari menggeram, Nyai Mlatiputih mengerahkan Ajian Panglimunan. Dalam sekejap dhukun santhet itu lenyap dari pandangan rajawali.
“Tak aku sangka, bila harimau putih yang akan mencelakai Pangeran Pati Syahwata adalah Adhi Mlatiputih. Babuh! Babuh! Berlarilah sampai ke lubang bumi paling dasar, aku akan memburumu.” Sekali mengepakkan sayapnya, rajawali yang mengerahkan Ajian Bandung Bandawasa itu melesat secepat kilat meninggalkan Hutan Gandamayit. Menuju Desa Watu Kilasa di kaki Gunung Tugel. Setiba di halaman rumah Nyai Mlatiputih, rajawali yang mengubah wujud aslinya itu berdiri tegap di depan pintu pendhapa. “Bila kau seorang sakti, keluarlah dari persembunyianmu, Mlatiputih! Pertarungan di antara kita belum usai.”
Dari dalam rumah, Nyai Mlatiputih yang melumurkan minyak pemikat asmara dan mengenakan jarik tipis terlilit kemben kuning gading itu membuka pintu perlahan-lahan. Tertawa kecil hingga gigi gingsulnya yang mengkilatkan cahaya itu tampak menyilaukan pandangan mata Dharmasanta. “Kakang Dharmasanta! Kenapa kau datang di rumahku dengan marah-marah. Di antara kita sesungguhnya tak ada permusuhan bukan?”
“Memang di antara kita tak ada permusuhan, perempuan sundal! Namun karena kau akan mengusik keberadaan Pangeran Pati Syahwata, maka tak langsung kau telah menantangku. Ayo kita lanjutkan pertarungan itu! Sampai di antara kita harus ada yang tewas.”
“Siapa yang akan mengusik keberadaan Pangeran Pati Syahwata?” Nyai Mlatiputih tersenyum kecil. Senyuman memikat yang biasa digunakan untuk melumpuhkan setiap musuhnya dengan cara halus. “Ketahuilah, Kakang! Aku datang ke Goa Gato bukan untuk mengusik keberadaan Pangeran Pati.”
“Lantas?”
“Aku ingin bertemu denganmu.” Nyai Mlatiputih berkilah sembari melancarkan rayuan pada Dharmasanta yang semula merupakan saudara seperguruan di Padepokan Lemahputih milik Dipasanta. “Terus terang saja. Semenjak berpisah sepuluh tahun silam sesudah sama-sama berguru pada mendiang Bapa Dipasanta, aku sangat merindukanmu.”
“Apa yang kau katakan itu bisa aku percaya?”
“Percayalah padaku, Kakang! Karenanya, redam amarahmu! Masuklah ke dalam. Aku ingin ngobrol banyak denganmu.”
“Kalau hanya sekadar ngobrol, lebih baik aku kembali saja ke Goa Gato.”
“Tentu tidak sekadar ngobrol, Kakang. Kita bisa minum tuak bersama.”
“Aku sudah tidak suka minum.”