Smash Up

Bentang Pustaka
Chapter #1

Tur Putih Abu-Abu

Menurutmu, apa yang sama kiamatnya dengan tidak lulus sekolah? Terjebak di angkot bau ikan asin padahal date night impian dengan kakak kelas idola sudah di depan mata? Mmm ... sedikit lagi. Terperangkap di sekolah kualitas empat padahal ka­mu tahu bisa masuk sekolah yang jauh lebih berkualitas? Itu dia.

Kuterangkan, ya.

Sekolah kualitas satu adalah sekolah bertaraf internasional yang bagai dibangun di puncak istana Zeus. Yah, kamu tahulah. Yang gedungnya bagus dan fasilitasnya fantastis itu. Anak-anak di sana berbicara dengan multibahasa karena memang diarahkan untuk menaklukkan dunia. Seragam mereka, tekstil halus kuali­tas nomor satu beremblem emas. Pengelolanya mendatangkan pengajar terbaik dari seluruh pelosok Tanah Air, kalau perlu dari luar negeri untuk mendidik siswanya. Chef terbaik dari Le Cordon Bleu, ahli mekanik tercanggih dari Jerman, nativespeakers terfasih dari negara-negara asalnya, pakar rekayasa biota dari California. Konon pelatih golfnya atlet profesional yang pernah mengalahkan Tiger Woods. Buat apa coba sekolah seperti itu memasukkan golf ke ekstrakurikuler? Ya ... karena itu sekolah elite, dong. Dan, orang-orang elite main golf, bukan main congkak.

Sekolah kualitas satu punya fasilitas lengkap dan mewah yang bisa digunakan kapan saja. Jogging track. Kolam renang dalam gedung dan gimnasium. Coffee shop dan kafe. Sebut saja. Melihat bangunan gedungnya saja, kamu bisa silau. Desain sekolahnya modern. Lantainya licin mengilap, tersusun dari keramik-keramik Italia terbaik. Bakteri dan kuman bahkan tidak bisa sembarangan masuk. Lulusannya sudah diincar universitas bergengsi, bahkan perusahaan ternama. Tentu saja untuk masuk ke sana, kamu perlu sedikit lebih banyak-banyak-banyak, ehem ... uang. Beasiswa? Kecuali kamu sangat-sangat-sangat amat genius, lupakan untuk bisa masuk ke sana. Manusia kelas rendah yang menyusup ke sekolah elite itu cuma ada di film-film seperti Boys Before Flowers. Yah, meski begitu aku tetap berharap bisa masuk ke sana.

Sekolah kualitas dua adalah jenis sekolah yang setingkat le­bih rendah daripada yang pertama. Yang kira-kira masih bisa ditembus manusia-manusia biasa seperti kita. Paling tidak uang sekolahnya masuk akal. Sekolah ini sangat memahami misi yang tercantum dalam halaman pertama Buku Pegangan Siswa; hadir sebagai jembatan yang akan mengarahkan siswa pada inti kecerdasan yang sesungguhnya dan mengarahkan siswa menjadi manusia berkarakter, religius, toleran, kreatif, mandiri, demokratis, dan memiliki semangat kebangsaan serta cinta Tanah Air. Me­reka menerapkan misi ini dengan baik. Jadi, jangan heran kalau tiap tahun ajaran baru, antrean masuk ke ruang pendaftarannya bisa sepanjang jembatan San Francisco.

Sekolah kualitas tiga setingkat lebih rendah daripada sekolah kuali­tas dua. Dan, sekolah kualitas empat adalah ... nggg, haruskah aku menjelaskannya? Tidak usah, ya.

Aku sendiri malas mengenang asal mula kenapa aku bisa terjeblos ke sekolah mengerikan itu. Sudahlah, masalah itu tak perlu kita ungkit lagi. Karena sekarang aku sedang sibuk .…

“Awas, belakangmu!”

Punggungku refleks membungkuk. Suara kaca pecah di belakangku memekakkan telinga. Meski bata sebesar kelapa nyaris menimpuk kepalaku, aku tak sempat menarik napas lega.

“Fay, kamu nggak apa-apa?”

Tak ada waktu menjawab. Kurebut patahan tongkat pramuka di tangan Yoga dan langsung kugebuk punggung seseorang berseragam biru pucat yang siap melayangkan potongan kayu ke pundak temanku itu. Kerumunan ini merapat semakin padat. Mataku sulit melihat mana seragam sekolahku dan mana sera­gam SMK Wijaya. Debu yang menghambur di udara telah sukses menghablurkan segala warna.

Satu lagi seragam biru pucat mendekat. Matanya menyalak­kan kemarahan bengis. Menggeram marah kepadaku sambil meng­acungkan botol kaca yang telah dipecahkan dasarnya. Napasku terisap ke ubun-ubun. Darahkah itu di lipatan lengan­nya? Siapa yang terluka? Tak ada waktu mencari tahu. Anak itu mendekat cepat dan menikamku dengan botol di tangannya. Meleset. Aku lebih cepat berkelit. Ujung-ujung runcing botol pecah itu mengenai udara hampa, satu senti dari telingaku. Kesempat­an ini kugunakan untuk menekuk sikutku dan menyarangkannya telak di lekuk lehernya. Pelajaran pertama dari Kitab Suci Penakluk Copet ini selalu berhasil. Dia terhuyung mundur dengan mimik sakit yang sangat.

“Wow, keren Fay!”

Lihat selengkapnya