Smash Up

Bentang Pustaka
Chapter #2

Tuan Tanpa Ekspresi

Tunggu dulu, siapa orang ini? Apa malaikat memang dikirim untuk menyelamatkan orang-orang berhati baik yang terje­bak dalam situasi tidak menyenangkan seperti aku?

Kulongokkan kepala. Berusaha melihat pantulan wajahnya dari spion di atas setang motor yang melaju kencang. Sia-sia. Wajahnya sempurna tertutup helm berkaca gelap. Orang ini mengemudi dengan tenang. Memacu motornya tidak terlalu laju setelah teriakan barbar tadi menghilang. Saat melewati tikungan, motor yang membawaku meliuk mulus ke samping. Aku kembali merapatkan pegangan.

“Turun di mana?”

Aku selalu curiga dengan kebaikan cuma-cuma. Pangeran berkuda putih cuma eksis dalam dongeng, kan?! Tapi melihat celana abu-abu kotak-kotak yang menandakan dia satu sekolah denganku, kupikir tak ada salahnya memberi tahu.

“Apa? Oh, kios Saleha, sebelah kanan Pasar Sawi.”

Oke, aku tidak jujur. Perlu berjalan kaki lebih dari dua ratus langkah dari tempat yang kusebutkan untuk sampai ke rumahku.

Aku merapatkan bahu saat motor berlari lebih kencang. Di­ngin terpa angin membuat wajahku terasa kaku. Motor ini cepat mencapai tikungan berikutnya, berbelok, lantas mengambil jalan memutar. Mesin motor menderum sedetik lalu melaju mulus. Hei, apa ini? Dia membawaku kembali ke tempat tawuran tadi? Nah, kan … lupakan tentang malaikat penyelamat tadi. Aku harus lompat sekarang. Eh, tidak. Melompat dari kendaraan yang dipacu 80 km/jam itu tindakan bodoh, kecuali kita stuntman-nya James Bond.

Kerusuhan tadi sudah bubar rupanya. Motor melambat dan kulihat mobil bak polisi terparkir di bawah pohon asam. Seorang pemilik kios minuman dingin yang dagangannya berantakan berceramah di depan polisi berperut tambun. Tangannya bergerak ke sana kemari dengan ekspresi wajah ditarik ke mana-mana. Se­pertinya dia berusaha menjelaskan kronologi kejadian menge­rikan tadi. Beberapa warga turun ke jalan, membersihkan dampak kerusuhan. Botol-botol pecah, tongkat-tongkat patah, potongan kayu sebesar lengan, batu bata, sampah-sampah, dan banyak lagi.

Di sisi lain jalan, anak-anak berseragam biru pucat dan putih abu-abu berbaris berbanjar. Wajah-wajah itu tampak kusut, muram, dan menunduk. Seorang petugas berseragam penegak hukum menanyai mereka, seorang lagi mencatat di notes besar. Aku buru-buru merunduk, nyaris membenamkan wajah ke punggung cowok di depanku saat melewati kejadian itu sambil merutuk dalam hati.

Apa maksudnya membawaku kemari? Mau bikin aku tertangkap juga?

Di depan gerobak sayur yang terguling, cowok berhelm pe­rak itu mendecitkan motornya. Kakinya yang panjang bergerak turun, nyaris menyentuh tanah. Dengan satu sentakan cepat, sesuatu melayang dari bawah. Tangan kirinya sigap menangkap sebelum benda itu jatuh lagi ke tanah.

Dia menyurukkan benda itu ke pelukanku.

Ranselku! Situasi tadi terlalu membuatku tegang hingga aku melupakan ranselku. Kuralat ucapanku tadi. Malaikat penyelamat itu sungguh ada!

Aku terlalu senang sampai tak menyadari sorot mata meng­ancam dari beberapa seragam biru pucat yang kami lewati. Untunglah aku segera kembali terbang di atas motor putih. Meninggalkan sisa kerusuhan itu. Meninggalkan nasib buruk yang hampir menerkamku.

***

Bibir Nina membulat sempurna. Kulap mulutnya sebelum teh botol yang diseruputnya menetes.

“Jadi dia nyelametin kamu, ngambilin ranselmu, terus ninggalin kamu gitu aja di depan kios Saleha?” Mata bulat di balik ka­camata itu membesar. “Dia nggak ninggalin apa-apa, gitu? Nama? Alamat? Sepatu?”

Aku terbatuk kecil. Kuah pangsit ini kelewat pedas. Kutambahkan kecap untuk mengimbanginya “Sepatu? Emangnya Cinderella?” Kucicipi kuah pangsitku. Sekarang kemanisan. “Ngelepas helm aja nggak.” Kuaduk-aduk isi mangkukku lantas kuseruput lagi sedikit. Masih kemanisan.

Tanganku menggapai-gapai stoples sambal di ujung meja, tapi seseorang yang tidak tahu sopan santun malah semakin menjauhkannya dari jarak jangkauku. Kutimpuk kepalanya de­ngan pisang.

“Aw! Sakit, Fay!”

“Bagus. Itu baru pemanasan. Pembalasanku belum selesai.”

Cengiran di wajah Yoga melebar. Sudut matanya yang le­bam membiru menyipit senang. “Bos Baron kemarin ngomongin kamu terus, tuh. Besok-besok suruh ngajak kamu lagi katanya. Kamu emang hebat banget, Fay,” ucapnya sambil mengupas kulit pisang yang kulempar tadi.

Jika maksudnya Bobi Baron anak kelas dua belas berwajah om-om yang terkenal suka bikin ribut itu, maka jangan salahkan aku kalau sebentar lagi ganti bangku kantin yang kulayangkan. Masa remajaku sudah cukup suram. Aku tidak berminat menambahinya dengan dekat-dekat geng brutal apa pun.

Kucengkeram kerah leher Yoga. Pisang di tangannya jatuh ke lantai. “Aku masih pengin punya masa depan cerah, Botak! Mendingan kamu juga mulai mikir gitu, deh.” Kulepaskan cengkeramanku dan cengiran itu kembali muncul. Aku memutar mata malas.

“Dengar tuh, Kak. Makanya kemarin Kakak nggak naik kelas. Tawuran terus, sih. Kapan belajarnya?” timpal Nina.

“Ya bagus, dong. Kita jadi bisa sekelas tahun ini.” Yoga memungut pisang setengah terkupas tadi dari lantai dan menggigit ujungnya.

“Iyyyuuuw ...,” desisku dan Nina kompak.

“Kita beruntung nggak sampai ketangkap kemarin. Tapi besok-besok, nggak ada yang bisa jamin kamu bisa sel .…” Deru motor yang baru datang mengganggu kalimatku. Aku melongok keluar kantin. Beberapa anak yang berlalu-lalang menghalangi pandanganku. Kutajamkan penglihatanku untuk melihat pemilik motor yang baru datang. Tulang punggungku menegang.

Lihat selengkapnya