Mi kemanisan di dalam mulutku nyaris menyembur karena menahan tawa. Konyol, kan, kalau satu klub isinya cuma dua orang? Itu pun kalau aku setuju bergabung. Kuakui, anak ini pintar melawak juga. Tentu saja aku menggeleng. Tapi, aku ingin tahu alasannya.
“Grip1-mu bagus. Footwork2-mu juga. Smash-mu akurat, mematikan. Refleks gerakmu sempurna. Kalau dilatih, kemajuanmu bisa luar biasa.”
Aku sama sekali tidak mengerti apa yang diomongkannya, Dia terdengar seperti pengamat olahraga andal. Apa dia atlet? Tapi, apa hubungannya juga denganku? Hei, jangan-jangan ini ada hubungannya dengan “aksiku” kemarin. Mataku menyipit curiga.
“Tunggu, tunggu, kamu nguntit aku, ya?”
Sebenarnya, pertanyaan ini tidak perlu. Kejadian kemarin berlangsung di depan sekolah. Seluruh isi sekolah pasti tahu siapa saja yang terlibat.
Seperti tidak mendengar pertanyaanku, dia terus mengoceh. “Kayaknya konsentrasi sama power kamu juga bagus.”
“Power?” Sudut bibirku terangkat. “Mau ngatain aku tukang tawuran, gitu?”
Tuh, kan ... aku mulai nggak suka arah pembicaraannya.
Ian terkekeh. Gigi rapinya terpampang manis lalu lenyap kembali di dasar wajah tanpa ekspresi itu. “Sayang banget kalau bakat sebagus ini cuma dipakai di medan tawuran.”
Bagus, setelah sok pintar, sekarang dia sok menasihati. Apa haknya mengecapku sebagai tukang tawuran? Nina harus meralat semua penilaiannya tentang cowok ini.
Aku menggeleng. “Nggak, deh. Cari anggota lain aja.”
Ian menatapku dua detik sebelum berdiri dan meninggalkanku. Separuh bibirnya tertarik mencurigakan. Di depan pintu dia berbalik. Menatapku dan berkata, “Besok. Pulang sekolah. Auditorium. Jangan telat!”
Dan, sekarang dia sok ngatur. Kukunyah mi-ku dengan ganas.
Di ambang pintu kantin, dia berhenti lagi dan menoleh. “Oh, iya ... siapa namamu?”
Kubuang pandanganku ke luar jendela. Pura-pura tidak mendengar.
***
“Dia itu emang rada aneh, Fay. Gimana nggak aneh? Udah bagus orangtuanya nyekolahin dia ke sekolah elite, tapi dia malah keluar terus pindah ke sekolah kita.”
“Jadi dia anak pindahan?”
“Ye, kan, udah dibilangin tadi. Tengah semester tahun lalu dia masuk kelas sebelas. Ian dulu anak Trinity, lho!”
“Hah!!!” Mataku hampir copot mendengar Nina menyebut nama sekolah dewa itu. Sekolah yang kutulis di tempat teratas daftar sekolah impianku. Sekolah yang uang seragamnya saja membutuhkan penghasilan setengah tahun ayahku di kios koran.
“Bisa nggak sih, kalian berhenti ngomongin Ian cemen itu?” Yoga mengucapkannya sambil mengorek telinga. Jelas percakapan pulang sekolah kami membuat telinganya kegerahan.
“Oh iya, kamu kenapa tiba-tiba tertarik banget ngomongin Ian?” selidik Nina.
“Hah? Ngg, nggak, kok. Eh, kamu ikut pramuka nggak, Nin?” kualihkan topiknya. Aku tidak mau dianggap salah satu dari barisan penggemar Ian. Aku cuma ingin tahu sedikit, tapi rupanya aku menekan tombol yang salah. Mulut Nina bocor ke mana-mana. Dia memberi tahu mulai dari kegiatan Ian saat istirahat sampai mata pelajaran apa yang paling dikuasai Ian. Heran, deh. Baru masuk sekolah dua hari saja Nina sudah menampung informasi sebanyak itu.
Angkot yang membawa kami berhenti di perempatan. Kakiku menjejak tanah, disusul Yoga, lalu Nina. Kami berpisah di patahan jalan berikutnya. Nina dan Yoga menyelinap ke balik gang, satu blok dari rumahku. Aku sendiri menyusuri ruko dan kios-kios kecil di sepanjang jalan pertokoan.
Baru lima langkah berjalan, langkahku terpatok kaku. Dadaku menyempit. Yang terjadi di depanku membuatku kalap. Sekitar tujuh anak berseragam biru pucat mengobrak-abrik kios Ayah. Koran dan majalah berserakan di mana-mana. Sebagian masuk selokan, sebagian lagi robek terbawa angin, mengotori jalanan. Beberapa dari mereka menyamarkan wajah dengan bandana yang diikat menutupi hidung dan mulut. Tapi, aku yakin anak-anak itu ada hubungannya dengan tawuran kemarin.
Di dalam kios yang pintunya diganjal dengan bangku panjang, ayahku berteriak-teriak marah sambil mengacungkan tinju. Mereka pasti sudah merencanakannya.
Kupacu langkahku sambil mengayunkan ransel. Anak-anak itu menoleh mendengar teriakanku. Satu orang dari mereka memberi isyarat untuk kabur. Dalam sedetik mereka sudah berhamburan ke segala arah dan menghilang di keramaian jalan.
“Anak-anak berandal! Sini kalau berani! Lawan Sarbini, mantan preman Pasar Sawi!”
Kutaruh tanganku di dada Ayah yang naik turun. Merah di wajahnya mereda begitu kusorongkan botol air mineral ke pipinya.
“Ayah nggak apa-apa?” suaraku bergetar karena cemas.
“Anak kurang ajar! Jadi berantakan semua! Awas kalau berani ke sini lagi! Kugantung satu-satu!”
Waduh, jangan sampai Ayah tahu kalau mereka kemari gara-gara anaknya ikut tawuran kemarin. Kutaruh lagi tanganku di dada Ayah yang masih belum rapi napasnya.
“Sssh ..., sabar, Yah. Ingat tekanan darahnya.” Aku menenangkannya, tapi rasanya tekanan darahku sendiri terkatrol ke ubun-ubun. Anak-anak itu memang wajib dikasih pelajaran! Akal sehatku terkorosi ke titik yang mengenaskan.
Aku paham anak-anak seperti apa mereka. Mereka menjunjung tinggi harga diri yang dibela mati-matian dengan kekerasan. Tapi, apa bedanya aku dengan mereka kalau ngotot membalas dengan cara yang sama?
Sejak kejadian itu, pikiranku kacau. Otakku berkabut. Seharian senyumku garing karena tak bisa berpikir jernih. Mereka mungkin akan kembali lagi suatu hari nanti. Aku mencemaskan kios kami. Lebih dari itu, aku mencemaskan Ayah. Dua kali tidurku terbangun karena mimpi buruk yang aneh. Sekali lagi aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Dan, hasilnya … aku bangun dengan mata merah lengkap dengan lingkaran hitam di bawahnya.