Hari pertama. Hana menghela napasnya sebelum ia memasuki sekolah barunya itu. Ia sempat mendesah pelan sembari membenarkan kacamata bulatnya. Menormalkan segala bentuk ketakutan dan kegugupannya, "semangat. Kamu pasti bisa!" Serunya kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam Sekolah Menengah Atas Pelita 02 yang merupakan sekolah pilihannya. Ralat. Maksudnya pilihan kedua orang tua Hana.
Sebelum hari pertama ini terjadi, Hana sudah memohon-mohon pada kedua orang tuanya agar membatalkan pendaftarannya di sekolah itu. Hana terlalu takut untuk masuk sekolah umum, dunia luar sangat menyeramkan baginya. Untuk itu, Hana enggan memilih untuk sekolah umum lebih baik ia homeschooling. Namun, itu tidak bertahan lama. Sejak Hana memasuki masa remajanya, kedua orang tua Hana memang sudah membicarakan ini pada Hana dan gadis itu hanya menggelengkan kepalanya kemudian pergi ke kamarnya. Kedua orang tua Hana berusaha untuk membujuk anak tunggalnya itu untuk bersekolah umum seperti orang lain namun tetap Hana masih kokoh dengan keinginannya itu. Sampai-sampai Hana sudah menginjak usia 16 tahun dan dengan segala rayuan serta paksaan. Akhirnya, Hana pun goyah dengan pendiriannya selama ini. Ia menerima tawaran untuk bersekolah umum dan kedua orang tua Hana memilih SMA Pelita yang merupakan sekolah terkenal sekota ini.
Dan di sinilah, Hana. Kelas barunya yang sempat diberi tahu oleh ayahnya-sebelum berangkat sekolah. Kelas 10 IPS-1. Hana bisa melihat letak kelas itu di samping taman sekolah yang merupakan kepala kelas dari semua kelas yang ada. Untuk memastikan dirinya tidak masuk ke kelas yang salah maka ia melihat dulu daftar nama yang ada di kelas itu. Kertas itu menempel di jendela dekat pintu masuk. Mata Hana menelisik satu per satu nama yang masuk dalam kelas ini yang berjumlah 30 siswa. Jari telunjuknya bergerak secara vertikal dan berhentilah di urutan nomor 20. Ternyata ia tidak salah masuk kelas kemudian langkahnya terhenti karena ada seseorang tiba-tiba menarik tas Hana sehingga tubuh kecil Hana tertarik kebelakang. Untung, Hana tidak terjungkal kebelakang karena sebuah tarikan yang cukup kuat itu.
"Hai, Ocha. Aku kira kamu tidak akan melupakan kelasmu itu ada di mana tetapi kali ini kamu melupakan itu, kelasmu ada di samping kelasku, sayang." Suara yang terdengar agak nyaring didengar lantas Hana menolehkan kepalanya dan melihat orang itu tersenyum kaku. Sepertinya ia salah orang batin Hana. Pria itu langsung melepaskan rangkulan tangannya di pundak Hana kemudian membungkuk meminta maaf pada Hana.
"ahhh... Maaf. Aku kira kamu adalah pacarku, Ocha. Apa kamu murid baru di kelas ini? Aku sudah menebak-nebak siapa murid baru itu, apakah pria atau wanita. Ternyata wanita. Aku sangat senang dan ingin berkenalan denganmu. Apa boleh? Aku Arta. Kamu boleh memanggilku Arta, teman, sayang atau yang lainnya." Hana menatap bingung pada pria ini, tangan pria itu masih tergantung di udara menunggu jabatan tangan dari Hana.
"Aku Hana." Kini tangan itu sudah diraih oleh Hana dan mengisi kekosongan telapak tangan Arta. Pria itu tersenyum sumringah sembari mengeratkan jabatan tangan lalu Hana menarik kembali tangannya kemudian melangkahkan kakinya memasuki kelas yang sudah berpenghuni. Semua tempat duduk hampir terisi kecuali satu kursi di paling belakang. Hana menghampiri kursi itu dan melihat bahwa di meja itu sudah terdapat nama penempat aslinya.
Pria itu yang melihat Hana kebingungan langsung menghampirinya, "apa kamu kebingungan?" Hana sempat terkejut karena pertanyaan mendadak itu muncul dari pria yang ada di depan kelas itu. Hana membalikkan tubuhnya menghadap ke arah pria itu, "apakah tempat duduk ini kosong? Apa aku bisa menempati tempat itu?"
Pria bernama Arta itu kembali tersenyum yang membuat Hana merinding, mengapa ia sering kali tersenyum? Batin Hana.
Arta meletakkan ransel nya di kursi kemudian duduk di samping kursi yang Hana inginkan itu. "Apa kamu ingin duduk denganku? Aku bisa saja menyuruh Aozora untuk berpindah tempat." Hana hanya terdiam kemudian Arta melambaikan tangannya pada pria yang baru saja tiba. Pria itu berdiri di samping Hana.
"Siapa dia?" Arta bangun dari duduknya dan datang pada pria yang bernama Aozora itu sembari merangkulnya. Hana yang melihat itu sudah dibuat bingung dan yang bisa Hana lakukan adalah menunggu jawaban atas persetujuan untuk berpindah tempat duduk. Sebenarnya, Hana ingin duduk bersama Arta karena ia merasa Arta sangat ramah dan baik. Jadi, Hana perlu untuk berteman sepertinya.
Setelah, menunggu Arta. Akhirnya, pria bernama Aozora itu menyetujui tawaran Arta untuk pindah tempat duduk. Pada saat itu pula, Arta sudah berdiri tepat dihadapan Hana, "selamat datang teman sebangku!" Ucap Arta dengan senyuman sumringahnya yang menampilkan sederet gigi rapihnya itu lain kali pria itu harus mengurangi senyuman itu dan itu berdampak pada Hana yang harus menahan diri agar tidak menampar wajah yang ada di hadapan Hana dengan senyuman di wajahnya. Hana yang menatap datar ke arahnya langsung memcebikkan bibir dan duduk di tempat yang kosong itu.
Arta menghampiri Hana dan duduk di sampingnya. Hana mengeluarkan beberapa buku kosongnya beserta alat tulisnya hal itu mengundang perhatian dari Arta, teman sebangkunya. "Hei, mengapa kamu mengeluarkan banyak buku? Untuk pertemuan pertama biasanya hanya sebuah perkenalan. Jadi, santai lah." Hana melirik ke arah Arta dan pria itu menatap balik.
"Mengapa kamu melihatku seperti itu? Apa aku terlihat begitu tampan?" Arta tertawa hambar kemudian Hana membuang wajahnya untuk menatap luar jendela yang dekat dengannya. Arta menepuk pundak Hana kemudian membisikkan sesuatu.
"Hei, teman sebangku. Apa kamu sangat pintar? Jika ada ujian mendadak, aku ingin menyontek padamu, boleh? Setidaknya, kamu harus bermanfaat saat duduk di sampingku." Ujar Arta dengan menyunggingkan sudut bibirnya, Hana pun mau tak mau menatap Arta lagi dengan guratan emosi di wajahnya.
"Tidak mau! Aku tidak akan memberitahumu jawaban apapun. Kamu harus menggunakan otakmu itu." Sungut Hana disertai dengusan diakhir ucapannya itu.
Arta memicingkan matanya kemudian menyeringai bak seorang penjahat yang sedang mendapatkan sebuah ide licik dibenaknya itu, "ohhh... Jadi kamu tidak pintar ya? Aku harus mengetahui kualitas teman sebangku agar kamu bisa tetap duduk bersamaku."
"Dan satu lagi, apa kamu ingin Aozora mengambil alih tempat ini lagi? Soalnya, Aozora itu salah satu murid terpintar di sini. Mau tidak mau, aku harus menukarkan lagi antara kamu dengannya." Lantas Hana pun membulatkan kedua matanya. Mengapa malah terjadi seperti ini? Hana hanya menginginkan ia duduk bersama Arta yang notabenenya adalah ia pria pertama yang berbicara banyak pada Hana dan ia pria pertama yang bersikap baik pada Hana.
Hana merasa tidak nyaman disituasi seperti ini, ia harus mengambil keputusan secepatnya agar Arta tidak menukarkan kembali Hana dengan Aozora itu. Hana menarik napasnya dalam-dalam dan membuangnya perlahan, "baiklah. Aku akan memberikan jawaban untukmu! Tapi, kamu harus bersamaku terus."
Entah antara baper atau apa, Arta makin tersenyum sumringah yang membuat kedua matanya menyipit saat tersenyum. "Wahhh... Aku sangat terharu. Jadi mau peluk kamu." Hana langsung menjauhi Arta yang sudah mendekat dan bersiap untuk mendekap Hana dalam pelukannya.