Penampung air hujan itu sudah tak kuat lagi menjadi wadah. Warna langit yang menghitam bahkan sudah semakin pekat, jauh berbeda ketika SMA Berlian Bangsa masih melangsungkan kegiatan belajarnya beberapa waktu lalu. Posisi yang paling merugikan setiap siswa adalah bermandikan air hujan, padahal besok masih sekolah dengan seragam yang sama. Paling apes lagi, kalau korban hujan itu tidak memiliki seragam kembar. Auto meminta surat ijin ke guru kesiswaan besok pagi!
Kalau untuk Leoni, dia masih bisa tenang dan tersenyum cerah karena masing-masing seragam sekolahnya memiliki kembaran. Ya, perempuan bertubuh ideal itu anteng-anteng saja begitu air langit menimpa rambut sampai mengalir ke seluruh tubuhnya seperti sekarang ini. Seakan-akan menjelma jadi Lenata, hatinya malah berpesta ria menerima guyuran hujan. "Mumpung ada kesempatan..." tubuhnya meloncat-loncat kecil kegirangan. Sesekali dia berputar-putar sambil mengangkat ke dua tangan yang jempolnya digoyangkan, bak mengikuti alunan musik khas Indonesia yang sedang ngehits itu, Dangdut.
Entah kebetulan atau kesialan Leoni, sosok pengganggu yang tak pernah bosan menampakkan batang hidungnya, sudah berjalan mendekatinya. Leoni baru sadar kalau ada mobil yang terparkir tak terlalu jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Sebelum Mikhael mengeluarkan suara, Leoni lebih dulu berjalan menjauh. "Kenapa nggak langsung pulang aja sih, Ni! Pakek lupa segala kalo Mikhael ngincer mulu! Inget, pasang muka datar kalo dia sampek depan mata... hiiih, kayak orang nggak ada kerjaan!"
"LEONI!"
"Tenang, Ni... langsung balik, pura-pura tuli." Ujarnya teramat pelan dengan langkah kaki yang kian melebar, semakin besar, sampai bunyi-bunyi air yang muncrat ke mana-mana mengiri setiap langkah kakinya. "Duh..." sesekali tangannya mengusap kasar seluruh wajah, menghilangkan jejak air hujan agat pandangannya selalu jelas. "... mana rumah masih lima menit lagi... tau gini, pulang bareng Papah!"
Sementara Leoni fokus mengomel, mesin mobil Mikhael menyala. Cuma butuh waktu sepuluh detik saja, mobil silver itu sudah menghadang jalannya, tepat setelah dia berhasil menyalip Leoni. Tak mau tenaganya dianggap kaleng-kaleng, Leoni dengan gesit nan lincah, melewati mobil Mikhael yang di mana pemiliknya sudah bergerak membuka pintu. Tapi sayang, begitu turun, tangan maupun tubuh ideal Leoni sulit dia gapai. "Sialan! Kenapa dia jadi cewek model macan gitu? Perasaan dulu alus kayak bulu kucing anggora."
"Mikhael emang gila! Super nekat banget sihl!" Gerutunya sambil menambah kecepatannya jadi dua kali lipat. Sepasang kaki yang terbungkus sepatu hitam basah itu terus menginjak perintilan batu dan butiran debu yang sudah bercampur air langit. "Semangat, Ni! Rumah Papah sebentar lagi di depan mata!" Benar adanya, kurang lebih sekitar tiga puluh meter dari sini, dia sudah bisa berdiri di depan pagar putih yang ada sejak Sena dan Almira menikah enam belas tahun silam.
Sementara dari arah belakang, supir mobil warna silver itu heboh membunyikan klakson. Ingin menyalip, tapi karena ada mobil dari arah yang berlawanan, terpaksa harus mengalah. Dan mau tak mau Mikhael harus rela : ketidakberuntungannya selama satu hari mengejar Leoni ini, menjadi temannya selama menyetir hingga sampai ke rumah. Atau mungkin... akan menjadi kawannya ketika dia ingin masuk ke alam mimpi, malam nanti. "AAAHSH...! AWAS YA, LEONI! Aku nggak pernah nyerah buat ambil hatimu lagi! Tck! SIAL!" mengacak rambut dengan wajah frustrasi.
Di lain orang dan ekspresi, Leoni tampak kegirangan karena dia bisa lolos dan masuk ke rumah tanpa kesulitan membuka pagar. Yap, karena Sena sang papa yang lupa menutup pagar setelah memarkirkan mobilnya, anak sulungya berhasil mendarat mulus tanpa adanya bekas terkaman buaya darat.
Leoni melihat Lenata yang asik duduk bersama cemilan di depan meja, matanya mengarah ke tv. "Papah sama Mamah di mana, Ta?" Bocah gembul yang sudah memakai baju motif kepala boneka itu menoleh, mempertontonkan ekspresi kagetnya.
"Kak Leoni kehujanan, Kak?"
"Eh... bocil! Ditanyain malah ikut nanya!"