Tidak ada teriakan yang lolos dari mulut Ammarylis lantaran terbungkam demikian hebatnya. Seolah ada yang menggerakkan, lemari berat di belakangnya bergeser sendiri dengan bunyi derit yang menusuk-nusuk gendang telinga. Kesadarannya tersentak, memaksa sudut matanya untuk menyusuri ruangan, lalu berhenti pada gerakan tangan si penyusup yang terentang di udara. Setengah takjub dan tak percaya, ia berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Ini sungguh di luar logika!
Namun, bukan itu yang terpenting sekarang, tapi Ariana, putrinya! Ditelannya bulat-bulat segala bentuk pertanyaan yang menggantung dalam benak. Dan entah, apakah Ammarylis harus merasa lega atau cemas ketika menemukan bagian belakang lemari itu telah kosong. Gesit sekali … tampaknya Ariana telah berlari ke lantai atas untuk menyelamatkan diri. Sayang, derap kaki yang terburu-buru, gagal disamarkan oleh bunyi derit tadi. Dengan sigap, Ammarylis bergeser menghadang langkah si penyusup yang berusaha menyusul ke arah tangga di belakangnya.
“Takkan kubiarkan kau lewat!” hardiknya.
Ammarylis memekik kaget ketika lemari yang ada di sampingnya malah jatuh berdebum dan penyusup itu melesat melewatinya, melompat tangkas menuju tangga. Nyaris, saja, wanita itu tersungkur oleh kecerobohannya sendiri. Ammarylis berbalik mengejar. Lantas, dapat ia dengar jeritan Chantalope sayup dari kejauhan. Tangga kayu tua itu pun berderak oleh derap langkah kakinya yang menggila.
Jantungnya seakan tercerabut dari rongga dada begitu mendapati kamar di lantai atas telah kosong. Sementara, jendela di sisi tempat tidur Ariana pun terbuka dengan tirai mengibas-ngibas liar diterpa sisa badai.
Mungkinkah? Oh, jangan ….
Ammarylis melesat menyeberangi ruangan. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika ia melongokkan setengah badan keluar sana. Kedua putrinya berdiri terpojok di tepi atap dalam jarak hanya beberapa kaki jauhnya dari si penyusup. Mereka adalah calon korban empuk yang tak berdaya dibandingkan pedang besar di balik punggung anak itu yang seolah bisa bicara kapan saja. Dan itu juga harus ditambah oleh kengerian yang sempat ia saksikan tadi di bawah. Simalakama. Angin pun seolah mengejek mereka. Ujung gaun tidur Ariana dan Chantalope berkibar keras bagai hendak menerbangkan kedua gadis itu ke langit. Andai saja bisa.
“Jangan sentuh anak-anakku!” jerit Ammarylis gusar.
“Ibu!” Chantalope berteriak histeris dalam dekapan kakaknya. Ketakutan. Si bungsu pasti tak punya nyali untuk melompat ke bawah. Atap itu memang terbilang jauh dari permukaan tanah. Mendarat dengan ceroboh, salah-salah berujung celaka.
“Ibu, jangan mendekat-”
Ariana berusaha untuk tetap tenang demi ibu dan adiknya yang malang. Namun, seketika segalanya berubah menjadi mimpi buruk mengerikan kala atap di bawah kaki mereka malah berderak bagai diguncang gempa. Sosok itulah pelakunya! Ia tak punya waktu untuk berpikir dan segera mendorong Chantalope ke pinggir sebelum atap itu runtuh, nyaris membawa serta tubuh mereka amblas ke bawah.
Bagi Ammarylis yang tak kuasa dan hanya bisa menyaksikan dalam sepersekian detik, waktu seakan berjalan lambat. Anak gadisnya yang sulung lantas melompat untuk mendorong si penyusup itu bersamanya. Keduanya jatuh. Wanita itu pun bergegas keluar jendela untuk menarik Chantalope yang gemetar merapat ke dinding. Sekarang, Chantalope aman, tapi Ariana …. Ammarylis merunduk di tepi atap dan melolong memanggil nama putrinya.
Di bawah sana, Ariana terkapar dengan punggung lebih dulu mencium tanah. Tubuhnya menggeliat, mencoba untuk bergerak dengan susah payah, tapi tampaknya ia baik-baik saja. Sementara, si penyusup telah bangkit dan berdiri di dekat kepalanya. Ariana mematung sesaat. Matanya terpaku pada wajah di atasnya, lalu segera teralih pada sang ibu yang tampak terpukul menonton.
“Jangan ke bawah, Ibu! Tetaplah bersama Chantalope.”