Snow Flower and The Secret Fan

Mizan Publishing
Chapter #1

Dalam Keheningan

Oleh banyak orang di desa kami, saya adalah “seseorang yang belum juga meninggal”. Seorang janda, delapan puluh tahun. Tanpa suami, hari-hari terasa panjang. Saya tidak lagi memedulikan makanan khusus yang disiapsajikan oleh Peony dan yang lain. Saya tidak lagi menunggu peristiwa-peristiwa membahagiakan yang begitu mudah terjadi di bawah atap rumah kami. Masa lalu adalah satu-satunya yang menarik perhatian saya. Setelah semua kejadian yang pernah saya alami, akhirnya saya dapat menyampaikan hal-hal yang tidak mungkin saya utarakan ketika saya masih menggantungkan hidup pada keluarga kandung yang membesarkan saya, atau kepada keluarga suami yang menghidupi saya. Sekarang, saya dapat menceritakan seluruh kehidupan yang pernah saya jalani; tak sesuatu pun bakal hilang, dan tak seorang pun bakal tersakiti.

Usia saya sudah cukup renta untuk menyadari semua sifat—baik dan buruk—yang melekat pada diri saya. Sifat yang lebih sering menyatu dan tidak terbedakan. Sepanjang hidup saya merindukan cinta. Saya tahu, kerinduan semacam itu tidak dibenarkan bagi saya, baik sebagai gadis dan nantinya sebagai wanita. Kendati kerinduan semacam itu tidak dibenarkan untuk diinginkan dan diharapkan, itulah yang selalu saya rasakan, dan keinginan yang tidak dibenarkan ini mengakar dalam setiap permasalahan yang saya alami sepanjang hidup. Saya rindu mendapatkan perhatian dari Mama, dan berharap bahwa Mama dan seluruh anggota keluarga lainnya mencintai saya. Untuk mendapatkan kasih sayang mereka, saya selalu patuh; sifat terpuji bagi seorang gadis, dan selalu menuruti semua yang mereka perintahkan kepada saya. Dengan harapan mendapatkan keramahan biar sekadarnya, saya berusaha memenuhi semua yang mereka harapkan dari diri saya—agar saya memiliki kaki terikat paling kecil di desa kami—dengan membiarkan tulang-tulang jari kaki saya patah dan tercetak dalam bentuk yang lebih indah.

Ketika tahu tak akan ada penderitaan seberat yang saya rasakan saat itu, ketika air mata membasahi ikatan kaki yang mulai mengeluarkan darah, Mama berbicara lembut di telinga, memberikan semangat agar saya bersedia bertahan sejam lagi, sehari lagi, seminggu lagi, sambil tak henti mengingatkan imbalan yang bakal saya dapatkan jika saya mau bertahan lebih lama lagi. Dengan cara ini, Mama mengajari saya bertahan dalam penderitaan, bukan saja dalam menghadapi rasa sakit saat kaki saya diikat dan saat persalinan, melainkan juga dalam menghadapi rasa sakit yang mendera hati, pikiran, dan jiwa saya. Mama juga menunjukkan kekurangan-kekurangan yang saya miliki, dan mengajari saya bagaimana memanfaatkannya demi kebaikan saya sendiri. Di negeri kami, kasih sayang ibu semacam ini disebut teng ai. Anak laki-laki saya berkata bahwa dalam tulisan laki-laki, teng ai ditulis dalam dua huruf. Kata pertama berarti penderitaan, sedangkan yang kedua berarti cinta. Itulah kasih sayang seorang ibu.

Pengikatan bukan hanya mengubah bentuk kaki, melainkan seluruh watak saya, dan dengan cara aneh, saya merasa proses perubahan itu terus berlanjut sepanjang hidup, mengubah diri saya dari seorang anak yang pasrah menjadi seorang gadis yang tak terjinakkan, kemudian dari seorang wanita muda yang akan menuruti semua keinginan para ipar tanpa membantah, menjadi seorang wanita terkemuka di wilayahnya, yang memaksakan berbagai peraturan desa dan kebiasaan hidup secara ketat. Saat usia menginjak empat puluh tahun, sikap tegas yang saya dapatkan dari pengikatan kaki telah berpindah dari kaki yang berbentuk bunga lili emas ke hati saya. Ketegasan yang berkembang menjadi ketidakadilan dan rasa kesal, bahkan ketidaksediaan untuk mengampuni orang-orang yang sangat saya cintai dan mencintai saya.

Satu-satunya pemberontakan yang pernah saya lakukan muncul dalam bentuk nu shu, kegiatan tulis-menulis di antara wanita yang dilakukan secara diam-diam. Pelanggaran pertama tradisi ini berawal ketika Bunga Salju—laotong atau kembaran hati, rekan tulis-menulis rahasia saya—mengirimkan kipas yang sekarang ada di sini, di atas meja saya, kemudian berulang setelah kami dipertemukan. Namun, terlepas dari siapa saya dan siapa Bunga Salju, saya telah digariskan untuk menjadi seorang istri terhormat, seorang menantu yang pantas dipuji, seorang ibu yang cermat dan teliti. Pada masa-masa susah, hati saya sekeras batu giok. Saya memiliki kemampuan untuk bertahan menghadapi tragedi dan penderitaan. Dan inilah saya sekarang, janda, duduk dalam keheningan seperti yang dihendaki tradisi. Sekarang, saya tahu betapa buta hati saya selama bertahun-tahun.

Lihat selengkapnya