Kamu adalah kenangan,
kenangan yang tanpa sadar masih terus kusemogakan.
“Bagaimana kuliahmu? Nyaman dengan jurusanmu?” tanya Jiver—papa dari seorang laki-laki bernama Zello. “Nyaman, Pa.”
Sang Papa tersenyum lebar. Pria itu menatap bangga kepada anaknya karena jurusan yang dipilih oleh Zello memang tidak biasa. Sastra Indonesia. Untuk ukuran seorang laki-laki yang lahir dari keluarga berkecukupan seperti Zello, jurusan itu termasuk yang jarang dilirik. Kedokteran, Hukum, Manajemen, menjadi jurusan yang lebih populer.
“Organisasi kampus, bagaimana?”
Zello menarik napasnya panjang. “Ya, seperti biasa.”
“Ya, ya, asal kuliahmu tidak terganggu, Papa nggak masalah,” kata Jiver. Matanya terfokus pada acara pertandingan sepak bola di televisi.
“Anak Mama baru pulang ya, Sayang?”
Keyana—mamanya, datang dengan cookies yang baru matang. Mama tersenyum hangat kepada Zello, lalu berjalan mendekati kedua laki-laki beda generasi itu. Keluarga harmonis itu memang sering melakukan quality time.
“Ya, Ma. Tadi hanya rapat, bahas perekrutan pengurus BEM.”
Keyana menggelengkan kepalanya. “Jangan cerita yang begituan, deh, Mama pusing dengernya. Di mana-mana politik. Nggak di televisi, media sosial, di rumah juga politik terus.”
Zello tertawa, ia mengambil cookies yang dibawa oleh Keyana. “Seru, kali, Ma. Namanya juga lagi tahun politik, ya pasti banyak pembahasan politik di mana-mana. Bagus juga, kan? Buat pengetahuan, biar nggak golongan putih.”
“Kamu nyindir Mama, nih?” tanya mamanya. Wanita itu mengambil cookies buatannya.
Zello menggeleng, lalu tersenyum. Beberapa waktu lalu, Mama tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan gubernur, sebab bertepatan dengan acara di luar kota.
“Mas, kamu nggak mau ambil?” tawar Mama kepada Papa. Wanita itu lalu menyodorkan kue yang ia buat kepada suaminya.
Kedua orang tuanya menikah muda. Mereka memiliki anak pada saat Mama baru lulus kuliah. Jadi, meski Zello sudah sebesar ini, kedua orang tuanya masih muda dan selalu terlihat romantis.
Jiver terkekeh, ia mengambil dan memakan kue buatan istrinya. Sementara itu, Zello menikmati pertandingan sepak bola di televisi.
“Mantan pacarmu yang pinter bikin kue itu kuliah di mana, Sayang?” tanya Keya kepada anaknya. Zello meliriknya sekilas, lalu mengedikkan bahu.
“Padahal Mama mau belajar bikin kue sama dia, bilangin suruh main ke rumah,” kata mamanya.
“Aku nggak punya kontaknya, Ma. Lagian dia belum tentu mau main ke sini lagi. Dia pindah ke luar kota setelah lulus.”
“Loh, kenapa?”
“Nggak tahu, Ma. Udah, ya, aku mau tidur. Jangan lupa sisain kuenya buat Arsyad sama Aika, nanti mereka ngamuk kalau nggak kebagian,” pungkas Zello sebelum ia pergi ke kamarnya setelah menyebut kedua nama adiknya.