So I love my Ex

Bentang Pustaka
Chapter #2

Dia Bukan Lagi si Cungkring

Karena aku tahu,

persepsi dan ego yang sudah kubangun telah menghancurkan kita.

Aluna menarik dan membuang napasnya. Ia memalingkan wajah saat melihat keberadaan Zello. Oke, Aluna memang tahu Zello kuliah di tempat yang sama dengannya, tetapi dia tidak pernah tahu bahwa Zello ada di Fakultas Ekonomi. Tanpa sadar ia menghela napas lega. Ia bersyukur mereka tidak satu fakultas. Coba iya, sudah pasti peluang untuk kembali bertemu dengan Zello akan lebih besar.

Aluna sendiri tidak menyangka ia bisa lolos Seleksi Mandiri di universitas ini. Aluna sudah hampir putus asa saat belum juga menemukan kampus untuk kuliah. Aluna sempat gagal lagi pada ujian tes tulis pada tahun kedua kelulusannya. Ia membuang napasnya, teringat lagi oleh sosok penolongnya, Om Andre.

Beliau adalah sahabat mamanya yang kebetulan mengajar di kampus ini. Mereka tak sengaja bertemu waktu ia ujian tes tulis yang bertempat di kampusnya sekarang.

Aluna sempat ragu saat Om Andre menawarkan bantuan agar dapat diterima di kampus ini. Dia tahu bahwa Zello pun kuliah di sini. Kesempatan mereka bertemu akan terbuka lebar. Namun, di sisi lain, kalau dia menolak belum tentu dia bisa diterima di kampus favorit lainnya. Pada akhirnya Aluna menerima tawaran itu.

“Woiii, lo ngelamunnn, noh dicariin,” teriak Alya, membuat Aluna gelagapan.

Matanya mengerjap-ngerjap. Ia mengucek matanya berkali- kali. Di hadapannya ada seseorang yang tidak pernah ingin Aluna temui. Bukan karena benci, melainkan karena Aluna malu saat harus bertemu mantan pacarnya yang bernama Zello itu. Dia bukan lagi cowok cungkring dengan tinggi seperti tiang listrik.

Zello yang ada di depannya sudah jadi cowok charming. Meski tidak memiliki badan kekar, cowok itu enak dilihat. Badannya lebih berisi dan lebih tegap daripada kali terakhir mereka bertemu, satu tahun lewat empat bulan yang lalu. Bahkan, Aluna masih hafal kapan kali terakhir mereka bertemu. Saat itu hubungan mereka sudah berakhir.

“Apa kabar, Lun?” tanya Zello, laki-laki itu menatapnya dengan sebuah senyum yang selalu Aluna rindukan.

“Eh, oh baik,” kata Aluna kikuk. Zello tertawa kecil sementara Alya melongo di sampingnya. Alya ingat siapa Zello, ia pernah melihat Zello di fakultas mereka.

“Mama nanyain kamu, katanya mau minta diajarin bikin kue. Kapan-kapan mampir, Lun.”

Aluna tersedak ludahnya sendiri. Alya langsung menepuk punggungnya berkali-kali sampai ia menatap Alya tajam karena tepukan gadis itu cukup kencang.

“Zell, balik ke fakultas woi, udah waktunya rapat. Bos besar WA gue tadi,” teriak salah seorang teman Zello dari kejauhan.

Zello mengangguk.

“Kamu kuliah di sini, kan, Lun? Ambil jurusan apa?” tanya Zello lagi. Aluna hanya diam menatap Zello. Dia kehilangan kata- kata.

“Seni Rupa.” Bukan Aluna yang menjawab, melainkan Alya. Zello tersenyum tipis.

“Aku duluan, Lun, Dik,” kata Zello. Ia mengamati Alya sekilas.

Karena tidak tahu nama Alya, jadi dia memanggilnya ‘Dik’. Dia yakin Alya adalah mahasiswa baru, satu angkatan dengan Aluna.

Zello lalu beranjak dari hadapan Aluna, meninggalkan mantan pacarnya yang sedang terkejut itu.

“Davvv, gue ketemu lagi sama dia,” jerit Aluna, ia rebahan di kamar Davika. Sementara itu, Davika malah terbahak melihat Aluna yang absurd.

Aluna memang seperti itu, selalu tampak ceria, seakan tidak pernah mengalami hal buruk dalam hidupnya. Namun, pada beberapa waktu, Aluna bisa menjadi orang paling menyedihkan yang pernah Davika lihat. Wajah cerianya hanya topeng. Davika tahu Aluna tidak sekuat itu.

“Jantung gue, kok, masih deg-degan, ya, Dav? Gimana, dong?” “Ya, itu tandanya lo masih cinta sama dia.” Aluna meringis. Ia lalu berguling-guling di kasur Davika.

Lihat selengkapnya