Dan, aku tahu. Usahaku melupakanmu berakhir sia-sia,
ketika kamu muncul lagi dengan sejuta kenangan
yang belum padam.
Aluna tidak bisa berkata-kata begitu ia keluar dari ruang eksekusinya tadi. Badannya panas dingin. Wajahnya memerah karena menahan malu. Zello memang paling bisa menjungkirbalikkan hidupnya, mengusik ketenangan yang sudah ia bangun dengan susah payah.
Masih terekam dalam ingatannya sewaktu Zello mengajukan pertanyaan laknat tadi. Haish ... Aluna mengacak rambut panjangnya frustrasi. Ia tidak menyangka Zello yang mewawancarainya. Di luar dugaan, Zello satu fakultas dengannya.
Lebih parahnya lagi, Zello adalah Menteri Kominfo.
“Alunan musikkk .... Lo udah selesai wawancaranya?” Itu teriakan Alya, ia baru muncul dari salah satu bilik tempat wawancara. Wajahnya ceria, tanda bahwa ia sukses melalui wawancara. Beda dengannya yang berwajah keruh. Sekarang, ia berharap untuk tidak lolos seleksi BEM F kalau Menteri Infokomnya adalah Zello.
“Gila ... yang mewawancarai gue tadi enak banget. Nyantai lagi orangnya. Lo gimana? Gue denger ketua Menteri Infokom ganteng. Beneran?” seru Alya dengan muka berbinar-binar.
“Gue berharap semoga gue gagal di tes ini. Nggak mau pokoknya ....” Dahi Alya mengerut, ia tak paham dengan apa yang diucapkan Aluna. Padahal, tadi Aluna sangat bersemangat, kenapa sekarang jadi begini?
“Lo kenapa, sih? Aneh, tahu, nggak?!” Aluna mengentak-entakkan kedua kakinya sebelum pergi.
Biarlah Alya heran dengan sikapnya. Aluna tidak peduli. Hatinya sedang tak karuan hari ini. Semua gara-gara seorang Zello.
“Hahaha ... jadi, dia Menteri Infokom tempat lo daftar jadi anggota?” ucap Davika sambil tertawa. Aluna mendengkus, lalu mengangguk.
Davika menyedot Pepsi-nya yang masih separuh, sambil menatap jail kepada Aluna.
“Roman-romannya ada yang bakal CLBK, nih.”
“Ngaco! Nggak bakal. Lagian, dia juga udah punya cewek,” kata Aluna sambil mengingat seorang gadis yang menyambangi Zello sewaktu ia tes wawancara tadi.
“Masa?”
“Iyalah.”
Mata Davika menyipit, menyelisik kepada Aluna yang cemberut. Aluna sendiri memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kafe tempat mereka nongkrong sore ini cukup ramai, maklum ini malam Minggu, banyak yang hang out dengan pacarnya di sini.
“Davika?” Seseorang dari balik punggung Aluna menyapa Davika.