Socha, Penolong Tuhan.

Rizky Brawijaya
Chapter #1

Tuhan Suka Bercanda

Suara azan subuh berkumandang dari ponsel ibuku yang membuat seketika aku bangun juga Ibu yang menyerobot canda ke kamar mandi mungil dilantai dasar. Kami berdua memang suka bercanda seperti seorang teman. Aku senang. Kami tidak mau ada jarak karena kendala usia. Walau ia yang mengeluarkan aku dari perut mungilnya 25 tahun yang lalu tapi aku menganggap ibuku, seorang perempuan sebaya yang cantik berumur 25 tahun. Tak lama selesai mandi, kini giliran aku. Ibu menyuruh tidak lama-lama karena kondisi air tanah yang dingin.

Ibu menjadi imam salat. Ibuku lebih fasih bacaan surah. Ia tahu makhraj atau artikulasi yang sempurna dan paham panjang pendeknya nafas. Ibuku berusaha melakukan yang terbaik untuk sang pencipta.

Ayahnya ke mana?

Jika ada pertanyaan itu maka aku menjawabnya simpel. Diambil Tuhan.

Padahal tidak. Aku hanya sebal saja jika harus mendeskripsikan ayahku yang sangat jauh berbeda karakter dan akhlaknya dari ibuku. Ayahku remaja asli Bangkok ( sekarang Krung Thep Maha Nakhon ). Tahun 1995 Ibuku yang baru selesai kuliah disana lebih cepat menikah dengannya setelah dinyatakan mualaf dan patuh ta’aruf dengan Ibu.

Ayahku sendiri hanya seorang pedagang kaki lima di pasar sana. Aku tak tahu apa yang benar-benar membuat ibuku akhirnya jatuh hati dengannya. Tahun 1998 akhir, ayahku menceraikan Ibu dengan alasan tidak mau ikut ke Indonesia. Ia bangga, terlibat dan nyaman akan tempat kelahirannya sedangkan Ibu yang saat itu sedang mengandungku 8 bulan sudah tidak nyaman akan lingkungan yang bertentangan dengan agama.

Bar diskotek hampir di setiap gang, mesum dipinggir jalan pun jadi itu pun jeruk bertemu dengan jeruk. Memang ibuku tidak bisa menghadang kelakuan mereka karena kultural yang turun-temurun tapi yang ibuku tak terima, suaminya terlibat dalam dunia malam secara diam-diam. Taubat yang ia lakukan hanya pancing tipuan untuk meyakinkan hati ibuku. Ibu sujud syukur di bandara Soekarno-Hatta sambil memelukku yang baru usia tiga hari sampai dilihat banyak orang yang hendak bepergian maupun pulang.

Iya bisa bernafas lega karena sudah keluar dari lingkaran setan dan berhasil menyelamatkan anak satu-satunya yang amat ia cintai. Yang lebih bersyukur lagi adalah Ibu berhasil mendidikku seorang diri, merangkap jadi ayah sampai kini usianya 52 tahun. Tuhan sungguh baik kepada ibuku.

 

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Semoga Allah menerima ibadah subuh kami pagi hari ini. Kami berdoa karena kami berusaha tidak menjadi umat sombong yang tidak meminta pertolongan dan perlindungannya. Namun ada satu suara penganggu ketika doa sedang berlangsung. Kami tak sengaja mendengar suara perempuan sedang melakukan hubungan badan dengan suaminya. Suara desahannya menembus tembok kami yang jadi satu dengan rumahnya.

Beginilah tinggal di rumah saling berimpitan. Rumahku hanya berukuran 40 meter dengan lapisan tembok bata merah yang tipis kemudian beratap genteng merah berbentuk segitiga di mana didalam-Nya jadi sarang zina para kucing kampung lalu melahirkan anak-anaknya. Aku tidak marah hanya sebal saja harus memunguti anak kucing satu persatu dengan tangga kecil sebagai pijakan.

“Mentang-mentang halal, mereka gak ingat waktu. Memang sebelum tidur gak sempat apa?” celoteh aku tidak nyaman, sedangkan mereka sangat menikmatinya.

Ibu tersenyum melihat aku risi. “Yah, maklumi saja nak. Itu hak mereka. Ayah sama Ibu juga begitu waktu baru menikah tapi kami ingat waktu. Tidak mengganggu siapa pun.”

“Kita sudah sering Bu dengar beginian. Yah, masa kita berserah diri sama Allah diiringi suara nafsu setan. Nanti dosanya kebagian.” Aku masih tidak terima.

Ibu lagi-lagi menanggapi dengan tenang. “Rumah kita memang kecil Nak. Kamu terima saja. Anggap saja ini cobaan menuju surga.”

“Mereka sudah mendapatkan surganya Bu. Begini, Bu. Besok aku ketemu sama Pak Ahmad yah? Yang tukang benerin genteng kita waktu itu yang bocor. Dia bisa nembok juga kan Bu?” Aku kemasukan ide cemerlang. Ibu berusaha menyetujui ide aku meski ada rasa ragu-ragu diraut wajahnya. “Iya, kamu coba panggil dia.” Kami berusaha melanjutkan berdoa sekhusyuk mungkin sampai menjelang matahari pagi terbit dari jendela kamar tidurku.

Pukul tujuh aku ke rumah Pak Ahmad. Tak jauh dari rumah, hanya empat menit berjalan kaki. Mulai banyak aktivitas manusia yang aku lalui melintasi gang-gang kecil. Ada yang sedang mempersiapkan dagangannya di teras rumah, ibu-ibu yang sudah gibah kemudian pedagang keliling yang lalu lalang serta penggunaan motor yang harus bergantian jalan saat ada pemotor lain yang berlawan arah.

Orang-orang yang kukenal dan kenal denganku suka saling sapa. Ada yang menanyakan kabar setelah aku pulang dari Thailand. Ada teman SD yang mengirimkan kabar kalo ia hendak bertunangan. Aku turut senang. Aku melanjutkan perjalanan, menyusuri tanah kosong berukuran 100m yang sering orang-orang tidak jelas atau preman kampung untuk berbuat onar seperti membuat konser dangdut sampai mengganggu malam orang yang sedang istirahat. Para pengangguran yang hobi berjudi dan pesta mabuk-mabukan.

Dan pagi ini aku hanya melihat beberapa orang dari biasanya. Setiba dari rumah Pak Ahmad yang tak jauh dari lapangan tadi, aku bergegas menemuinya. “Assalamualaikum. Pak Ahmad.”

Yang menghampiri aku malah istrinya yang tua renta. Ia datang dengan penampilan daster batiknya dan kerudung hijau berlambang partai di sisi kanan. “Alaikumsalam. Eh, Neng Oca. Ayo masuk. Ada perlu apa Neng. Ya Allah. Kapan pulang? Makin cantik yah. Rambutnya makin panjang.”

Pertanyaan detail dalam satu kalimat. Aku seperti diinterogasi polisi. “ Alhamdulillah Bu. Aku baru seminggu pulang. Makasih, Ibu juga awet cantiknya. Oh, iya Pak Ahmad ada Bu?” Gue menjawab semuanya dengan satu kalimat. Tak mau kalah.

“Pak Ahmad lagi berak. Baru saja. Kamu tunggu in saja.” Aku sedikit tertawa mendengar kata agak menjijikkan tersebut. Aku maklumi, memang nenek-nenek mulutnya suka cablak. Tidak beraturan dan baku.

Aku mengangguk sembari menjelaskan tujuanku. “Ada bagian rumah saya yang mau dibenerin Bu.”

“Oh, bisa itu. Kebetulan Pak Ahmad lagi nganggur. Gak ada objekkan,” katanya.

 

Aku duduk menunggu cukup lama di teras rumah sampai istri Pak Ahmad masuk meninggalkan aku ke dalam. Tiba-tiba Ibu meneleponku. Iya butuh bantuan ku untuk ke pasar mengambil belanjaan untuk memasaknya nanti.

“Aku, lagi nunggu Pak Ahmad,” ucapku.

“Tolong Ibu dulu. Kamu bisa nanti balik lagi,” bantah Ibu.

Aku memutuskan pamit tanpa bilang-bilang ke istri Pak Ahmad. Tidak sopan sih tapi Ibu lebih penting. Setiba di pasar, aku melihat Ibu sedang asyik makan gado-gado. Aku menghampirinya dan memang belanjaan banyak sekali seperti mau masak buat hajatan. Ibu memang seperti itu. Masak banyak demi buat aku kenyang. Kan kemarin-kemarin aku berpisah lama dengan Ibu. Aku anggap saja pelepas rindu walau sudah lebih seminggu.

 

“Mau Bu!”

Kalimat pertamaku di pertemuan ini. Ibu sedikit terganggu makannya dan aku memberikan saran agar Ibu membelikan satu porsi lagi supaya tidak aku ganggu lagi. Ibu pasrah dan membelikannya. Aku suka gado-gado dengan bumbu kacang diulek kasar dan kental karena bumbu kacang itu jauh lebih enak. Renyah. Aku benar-benar menikmati itu setelah beberapa menit selesai dibuat. Hatiku bersuara “Nikmat Mana Lagi Yang Kamu Dustakan”. Lebay sih tapi memang nikmat.

Setelah dari pasar, aku menemukan Pak Ahmad di depan rumah. Ia memberi salam pada kami. Ibu menyambut dengan hangat begitu aku sekaligus minta maaf sudah meninggalkannya tanpa pamit.

“Iya tidak apa-apa. Lagian salah saya juga buang airnya susah. Maklum keras.” Tak jauh sama istrinya, Pak Ahmad nyaman membicarakan hal yang menurutku jijik. Aku hanya tersenyum kemudian menyuruhnya masuk untuk berdiskusi soal tembok.

Secangkir teh sengaja ibu buatkan di tengah obrolan.

“Kira-kira seharian bakal kelar gak Pak? Aku mau nembok bawah sama atas juga.”

“Gak kelar Neng. Dua hari maksimal. Ini kan udah tembok neng. Kenapa minta tambah?”

Aku tidak mungkin jelaskan alasan yang sebenarnya. Mendengar pembahasan buang air saja aku sudah perih telinga apalagi yang lebih vulgar.

“Ah, aku mau punya tembok sendiri aja Pak. Ini kan bagi-bagi sama tetangga lagian Pak, kalo hujan takutnya bocor dari sela-sela tembok.” Alasanku yang menurutku masuk akal.

Lihat selengkapnya