Aku jadi takut keluar rumah. Setelah si pengirim surat dan koper uang misterius tahu alamat rumahku aku jadi seperti waswas dan memperhatikan sekeliling sampai seorang bertanya curiga saat hendak membeli beras di sebuah warung. “Socha kenapa. Kayak lagi dikejar orang.”
Aku mencoba berbohong lagi. “Iya, mbak. Tadi Pak Jebleh kayak membuntuti aku ke sini.” Pak Jebleh adalah ODGJ pemilik kampung sini. Ia sangat terkenal sehingga jadi olok-olokan anak kecil ketika bertemu. Aku sungguh kasihan dengannya sebenarnya tapi aku tak punya hak untuk mengurus dia karena keluarganya yang lain normal dan kaya raya. Pemilik warung tidak bertanya lagi melainkan menyarankan untuk lebih berhati-hati.
Astagfirullah, sekarang aku pintar berbohong.
Allah belum beri petunjuk dari pagi hingga menjelang tidur soal uang kaget yang harus aku gunakan untuk apa. Ibu sampai buatkan aku secangkir teh dan membawa sepiring roti coklat kesukaanku karena melihat anaknya diambang kebingungan. Aku memandangi layar laptop. Aku sempat bertanya-tanya, apa aku donasikan semuanya ke badan amal? Setengah jam aku merenungkan itu tapi hati seperti enggan tanpa memberi alasan.
Aku sejenak mencari hiburan diinternet. Kali saja Allah memberikanku jalan melalui ini. Jemariku mengetik “Runtuhnya Konstantinopel oleh anak 21 tahun. Muhammad Al-fatih”. Satu jam aku menyimak sejarah itu membuatku mengantuk sehingga memutuskan untuk tidur sampai waktu sepertiga malam tiba.
Tidurku terganggu oleh suara gemuruh orang-orang yang berlari melintasi rumah. Suara mulut yang ramai dan langkah lari yang mencekam membangunkanku dan tetangga. Aku melongok dari jendela kamar atas dan ternyata para pemuda yang sedang melakukan tawuran. Terlihat jelas dari atas beberapa pelaku membawa parang, pedang dan bambu panjang sambil berteriak tidak tahu adab.
“Buat apa mereka seperti itu?” tanyaku tak habis pikir. Aku menatap jam di ponsel yang kebetulan aku pegang. Pukul 1 dini hari. Aku membangunkan Ibu untuk melakukan salat istikharah, kemudian hajat lalu dilanjutkan dengan tahajud. Selesai salat masih ada dua jam menuju subuh. Aku masih mengantuk walau Ibu sudah melarangku kembali tidur. Tapi imanku masih cukup lemah. Aku ketiduran di kamar sampai-sampai sinar matahari pagi yang terik membangunkanku. Bukannya Ibu.
“Astagfirullah,” kata pertama keluar dari mulut sembari menepuk kening cukup keras. Aku kebablasan bangun subuh. Tubuhku beranjak untuk mencari Ibu dengan tujuan bertanya perihal ini. Sayangnya Ibu tak di rumah, hanya sebuah kertas kecil yang diselipkan di bawah piring nasi ulam dan segelas teh manis. Aku meraihnya sedikit sebal.
"Ibu ke pasar buat nguber daging sapi. Soalnya kalo siangan dikit bakal habis. Ibu coba bangunin subuh tapi kamu menolak terus. Jadi maaf."
Ish, gara-gara kurang tidur jadinya begini. Uang itu membuatku menciptakan dosa pagi-pagi.
Ibu meneleponku untuk membawa barang belanjaannya kembali ke pasar seperti semalam. Setelah mandi dan salat duha 2 rakaat aku pergi dengan pakaian kaos dan rok serta rambutku ikat kuda. Aku melewati tanah kosong itu lagi dan kini amat sepi. Mungkin akibat kerusuhan kemarin jadi para pelaku bersembunyi karena takut polisi memburu mereka.
Ada keramaian masyarakat begitu mau masuk pintu masuk pasar. Bendera kuning diikat ditiang listrik dan tenda merah menutup jalan akses utama ke pasar. Mau tidak mau aku harus lewat gang samping belakang rumah yang meninggal.
“Innalilahi Wainnailaihi Rojiun.” Aku mengucap pelan.
Aku kembali bertemu Novi, ia menyapaku cerah wajahnya dan aku tertular. “Socha. Ketemu lagi. Anak perawan main ke pasar. Belanja apa kamu?”
Aku berbalas meledek. “Kamu juga perawan. Aku mau jemput Ibu. Minta dibantu bawa belanjaan. Kamu sendiri ngapain?”
“Aku habis belanja buat dagang. Terus titip ke adik yang kebetulan habis pulang kerja,” ucapnya membuat keningku mengerut.
“Kenapa gak ikut sekalian?”
“Males. Jalan kaki jauh lebih sehat. Selain itu aku ketemu kamu.”
“Oya juga sih.”
Obrolan kami bersambung pada seorang yang meninggal barusan. Novi yang membukanya. Sebenarnya tidak baik membicarakan orang yang sudah dipanggil Tuhan tapi kata Novi ini ada kaitannya dengan tawuran yang menggangguku dan warga semalam, itu membuatku penasaran.
“Kasihan yah. Yang meninggal masih bocah SMP. Emang bandelnya minta ampun. Tahu gak, Tangan kanannya putus. Terus ususnya keluar dari perut kena parang. Yah, mati di tempat. Sia-sia banget hidupnya. Jangan sampai adik aku begitu. Ngeri banget.” Novi menjelaskan sedikit ketakutan.
“Kamu tahu banyak,” kataku.
“Tahulah, dia beda dua rumah sama rumah aku. Orang nongkrongnya di belakang kali dekat rumah sama teman-teman geng gak jelasnya itu. Kalo malam-malam sukanya buat ulah di jalan besar.”
Aku sedikit kaget sih. Aku kira salah satu dari pemuda-pemuda bermasalah di tanah kosong itu. “Oh, iya tuh adik kamu jagain. Masih kelas 8. Belajar yang baik, baik soal agama maupun yang lainnya. Siapa tahu bisa sukses belajar di luar negeri.”
Novi berterima kasih padaku soal nasihatnya. Ia juga meminta padaku tips supaya bisa dapat beasiswa sekolah sampai kuliah ke luar negeri. “Ayo, bagi-bagi infonya. Jangan-jangan ordal yah? Ayah kamu kan orang sana? Hehehehe.” Novi malah menuduh dalam ledekkan.
“Apa sih. Aku murni berjuang atas semua nilai-nilai dan usahaku dari nol. Aku juga tidak ketemu ayahku sama sekali. Bulu hidungnya pun tak nampak. Udah, aku gak suka bahas ayahku.”
Novi meminta maaf. Ia tujuannya hanya bercanda dan aku paham itu. Aku juga minta maaf dengannya demi menghindari canggung. Bagaimanapun kami teman dekat meski pernah hilang kontak dalam waktu lama.
Tak lama Ibu menghampiri dan mengagetkanku dengan tegurannya. Aku yang sedang duduk dengan Novi langsung beranjak begitu tegurannya berlangsung. “Ibu tungguin lama di warung tukang daging, gak nongol. Ibu kira kamu gak datang. Ternyata sama Novi.”
Ibu sih tidak menggebu-gebu. Hanya saja sedikit sebal dan ekspresinya cukup dingin. Novi meminta maaf dahulu. Ia mengakui bahwa ia yang mulai. Aku menyusul karena aku juga lupa karena keasyikan mengobrol. Inilah akibat membicarakan orang yang sudah meninggal.
”Ya sudah, tidak apa-apa. Ayo pulang. Bantu Ibu masak,” ucap Ibu sambil menyerahkan kantong-kantong belanjaan berukuran sedang hingga besar. Sebelum pergi Novi memberi ledekkan penutup yang membuat pecah tawa aku dan Ibu juga dirinya.
“Ayo, Ca. Belajar masak. Ini portofolio bagus buat di hadapan calon menantumu nanti. Ya kan Bu?”