Socha, Penolong Tuhan.

Rizky Brawijaya
Chapter #3

Banyak "Gang" Menuju Surga Allah

Setelah zuhur berjamaah dengan Ibu aku mulai berencana akan tugasku. Mulai dari mencari tanah untukku beli. Aku membahas soal tanah kosong yang kemarin baru dijual. Ibu tahu asal-usul pemilik tanah itu dan ia mau membantuku menemukan pemiliknya. Setiba di rumah pemilik, aku sempat mengamati dan ternyata bapak itu waktu yang memukul pemuda-pemuda nakal pakai sapu ijuk sambil memaki. Ia sudah kenal dengan Ibu dan menyambut kami hangat.

Diawali dengan basa-basi perihal tanya kabar, obrolan kami mengerucut ke pembahasan tanah. Ia bilang itu tanah miliknya sendiri yang ia pasang dengan harga 300 juta. 3 juta per meter.

“Bagaimana kalo 225 juta.” Aku langsung terjun payung. Memangkas 75 juta. Bapak itu menggeleng. Ia bilang surat tanah sudah SHM dan pembayaran PBB sudah lunas tahun ini. Ia tetap diharga awal. Ibu berusaha membantuku dengan menaikkan sedikit.

“Bisalah Pak. Bagaimana naik 5000 (istilah jaman sekarang dalam tawar menawar). Sebenarnya 5 juta. Jadi 230?”

“Memang tanahnya mau dibangun apa Mbak? Rumah?”

Aku dan Ibu saling menatap. Baru kita mau menjawab bapak iru menjelaskan hal yang mengagetkan kita. “Kalo untuk membangun rumah atau warung itu sangat bagus. Asal jangan yang lain atau jangan dibiarkan kosong. Kalian bisa lihat kan kemarin-kemarin,” tegasnya.

Aku langsung bertanya. “Maksudnya tempat yang lain?”

Bapak itu diam sejenak. Mungkin sedang berpikir kemudian menjawab dengan ragu. “Semacam masjid atau musala atau tempat ibadah lainnya.” Aku mulai emosi dalam hati. Kepalaku bertanya-tanya. Kenapa?

Tapi ibu menahan aku dengan kembali ke topik penawaran. Ibu tahu aku akan cerewet soal alasan tidak boleh bangun rumah ibadah. Mungkin alasannya bisa dijelaskan setelah pertemuan. Ibu menawarkan harga terakhir. 235 juta. Bapaknya mulai melemah dengan menurunkan harga.

“Oke. 280 juta?”

Ibu kukuh dengan harga terakhirnya. “Maaf, 235.”

Akhirnya pemilik melepaskannya. Ia bilang jual rugi dan aku tidak memikirkan. Itulah risiko tawar-menawar. Seperti dua orang bertinju di atas ring. Yang kuat ialah yang menang. Yang pintar merayu ialah pemenang juga. Setengah harian kami mengurus urusan tanah hingga kami mencapai kesepakatan yang baik. Surat tanah sudah ada padaku. Uang di dalam koper hari ini berkurang. Aku dan Ibu senang akhirnya tahu ke mana uang ini akan kami habiskan. Esok pagi aku dan Ibu bertemu notaris teman ibuku yang perihal sertifikasi tanah.

Hal yang masih membuatku tidak terima sejak siang adalah alasan kenapa tidak boleh bangun masjid atau musala. Aku membahas ini dengan Ibu setelah salat magrib dan makan malam. “Kamu mau tahu kenapa tidak boleh bangun tempat ibadah. Apalagi musala atau masjid.” Ibu bertanya. Aku menggeleng tak tahu daripada jawab asal.

“Mereka terganggu dengan suara kegiatan masjid. Rumah saling berimpitan. Satu atap banyak yang lebih dari satu kartu keluarga. Banyak anak kecil saja sudah cukup mengganggu mereka ditambah kegiatan masyarakat yang ramai sudah membuat riuh. Watak mereka yang penting duit dan perut kenyang. Mementingkan keluarga mereka masing-masing ketimbang kemakmuran dalam bermasyarakat.” Ibu menjabarkan dengan tenang.

Aku menyeletuk. “Seperti bangun, makan, tidur, mati.”

“Hush.” Ibu menegurku. “Jangan begitu. Kita harus tetap baik pada mereka.”

“Ya, habisnya aku emosi dengarnya. Pantas kalo ada pengumuman apa-apa pak RT datang rumah ke rumah.” Aku menggerutu. Untungnya waktu menuju isya sangat cepat. Aku bergegas ambil wudu begitu selesai azan di ponsel berkumandang.

Esok harinya aku dan Ibu sudah sibuk dengan notaris, temannya Ibu yang membantu kami mengurus surat menyurat. Kami berkumpul di lapangan bersama tanah pemilik sebelumnya untuk pengecekan ulang didampingi RT setempat yang sengaja kami undang sebagai saksi. Sebenarnya tidak perlu juga tapi kami hanya ingin semuanya berjalan baik-bauj saja. Butuh dua hari untuk mengganti nama di surat sertifikat menjadi nama ibuku. Aku bersyukur sekali karena temannya Ibu sangat mau menolong apalagi ia hanya memasang tarif murah untuk mengurus semuanya sampai selesai.

Bada asar Ibu sempatkan bertanya lagi perilah tujuanku membangun musala padahal sudah mendapatkan angin tidak menyenangkan dari mantan pemilik tanah.

“Aku tetap kukuh melakukan itu Bu. Setidaknya aku sedang membangun akhiratku di sini. Aku ingin kuburku luas dan dipermudah melewati jembatan Siratan Mustaqim. Kasihan Bu Tuhan kita. Kita harus tolong seperti dia menolong kita dulu. Menolong Ibu.” Tiba-tiba ia mendekatiku, merapikan dan memasukkan sehelai rambutku ke dalam mukena. Wajahnya cerah, cantik seperti istri Rasulullah Saw.

“Kamu anak ibu yang paling sempurna. Allah tak pernah salah menitipkan anak surganya kepada orang yang tepat. Kamu salah satu dari makhluk surga itu. Ibu hanya punya pesan untuk kamu. Apa pun yang kamu kerjakan, selalu ingat Allah. Semuanya akan lancar. Insya Allah. Jangan tinggalkan Ibu yah Nak.” Air mata Ibu keluar tapi wajahnya tetap bahagia. Aku jadi ketularan menangis.

Air mataku jauh mengalir lebih deras. “Aku juga sayang sama Ibu. Aku gak akan tinggalkan Ibu jauh dan lama lagi.”

Kami berpelukan cukup dalam dan mesra. Seperti sepasang kekasih. Tapi ia ibuku, lebih dari kekasih. Malaikat baik. Tepat dua hari, sertifikat beserta tanah 100m resmi menjadi milik kami. Namanya sudah diganti menjadi nama Ibu. Sesi foto bersalaman dengan pemilik lama diabadikan sebagai bahan bukti kalo terjadi masalah suatu waktu.

“Kenapa bukan nama kamu Nak?” kata Ibu setiba di rumah.

“Itu hadiah buat Ibu. Lagian bukan uang aku pas belinya.” Kataku

“Uangnya Allah melalui orang itu kemudian ke kamu,” balas Ibu manis.

Aku hanya mengangguk senang.

“Terima kasih sayang.”

“Sama-sama.”


Aku istirahat satu hari sebelum memikirkan rencana perizinan yang menjadi satu hal sulit. Banyak pihak yang mesti aku hadapi. Mungkin dari kalangan bawah sampai kalangan pemerintahan. Aku juga harus mempelajari dahulu prosedur dan langkah-langkah membuat perizinan pembangunan. Ini misi yang paling nekat seumur hidupku padahal saat aku bercermin, aku hanya perempuan rumahan yang tahunya hanya keluar ke warung untuk sekadar beli makan dan pulsa juga pembalut kalo jadwal masuk haid. Paling jauh pasar dan bank.

Tiba-tiba aku mendapatkan panggilan interviu daring dari perusahaan yang aku lamar hampir satu minggu. Posisi jabatan cukup menggiurkan. IT Broadcasting di sebuah perusahaan televisi swasta. Jadwalnya esok pagi. Aku mengatur waktuku sejenak. Masalah perizinan saja meski pagi-pagi karena kalo lewat istirahat saja belum tentu selesai. Kantor pemerintahan sore-sore sudah tutup dibanding perusahaan swasta.

Apa aku tunda saja keesokan harinya?

Oke, aku tidak mau ambil pusing. Aku terima wawancara daring esok lalu aku usahakan perizinan setelah wawancara selesai. Yah, kalau terpaksa, esok harinya mau tak mau. Setidaknya tidak sombong, menolak rezeki lainnya dari Allah.

Ibu memuji penampilanku seperti orang kantoran. Kemeja putih dibalut blazer warna pastel yang amat serasi. Ia juga bertanya apa tujuanku memakai pakaian formal tersebut. Ya aku menjawab apa adanya.

“Semoga yah Nak lolos wawancaranya.”

“Amin.”

Aku sudah sangat siap di layar komputer. Aplikasi Google Meet telah terkoneksi dengan pihak perusahaan dengan sangat baik. Aku berdoa sebelum HR-nya muncul di bilik layar sebelahku semoga koneksi lancar selama proses berlangsung.

“Selamat pagi. Socha Amira Sakinah. Aku bisa panggil kamu apa nih biar bersahabat,” sapanya santai. Ia mengajakku untuk tidak ada kesengajaan dalam berkomunikasi.

“Assalamuaikum Mbak. Benar, namaku Socha Amira Sakinah. Biasa dipanggil Oca, Caca dan Socha juga bisa. Senyaman Mbak saja,” balasku tetap menjaga sopan santun.

“Alaikumsalam. Maaf, saya lupa ucapkan salam. Ok, Ca. Kita langsung mulai saja wawancara yah.”

Ia mulai mengorek-ngorek informasi tentang diriku dari CV yang telah aku kirim jauh-jauh hari. Ia kaget begitu tahu aku lahir di Bangkok, bukan di Jakarta. Ia mengetes bahasa Thailand dan aku memamerkannya dengan fasih. Aku jelaskan bahwa aku kerja di sana dan melayani warga lokal. Jadi terbiasa. Awalnya aku juga belajar dengan teman satu kamar di asrama. Dia orang lokal yang harus menginap karena tempat tinggalnya sangat jauh dari ibu kota.

Teman sekamarku fasih bahasa inggris jadi tak pernah hambat berkomunikasi dan bagusnya ia mengajariku bahasa asli sana. 18 bulan aku belajar membaca, menulis dan berbicara ternyata sukses. Aku tak tahu dalam waktu begitu bisa dibilang cepat atau malah lambat. Kemudian ia juga mengorek pengalaman kerjaku, universitasku beserta prestasi-prestasi akademi yang aku punya. Ia sepertinya sangat suka terhadap semua apa yang aku punya. Bahkan dia berkata, “kamu punya masa depan yang baik”.

Lihat selengkapnya