Socha, Penolong Tuhan.

Rizky Brawijaya
Chapter #5

Bersyukurnya Bukan Main

Poster selebaran bazar sudah terpajang di setiap tiang listrik, mading pos RW dan tembok pemukiman masyarakat. Anak-anak kecil yang biasa main menghalangi jalan begitu senang menanggapinya. Modal bazar dari uang kawan-kawan berpatungan. Aku menggunakan sedikit uang koper dan uang tabungan pribadi untuk menyumbangkan modal. Ibu juga turut membantu. Bazar sesuai kesepakatan rapat terakhir kemarin malam yang terdiri dari stand makanan, wahana mainan anak-anak, pakaian dan aksesoris serta hiburan musik dangdut islami. Meski ada warga yang protes soal hiburan, kami tetap memakainya.

Aku yang membuat daftar acara di mana ada pembukaan, sambutan Lurah, RW dan ketua panitia seperti acara pada umumnya. Yang menjadi garis besar dalam acara ini adalah proses peresmian karang tarunanya. Selain memperkenalkan identitas baru kami juga mencari pengakuan warga untuk disegani dan dikenal luas sampai sudut gang. Caper demi kebaikan boleh kan?

Pukul lima sore pedagang yang sudah mendaftar ke Safa dan Marwah sebelumnya sudah mulai bermunculan dan membangun tendanya masing-masing di tanah kosong. Panggung sudah tegak berdiri dan sound sytem sudah diurus sama Zidan dan Abdu, murid Bang Ridha yang lainnya. Tinggal rombongan penyanyi dari anak muridnya Ustazah Dila belum hadir yang akan mengisi panggung semalaman.

Banyaknya pedagang yang mendaftar membuat aku dan Bang Ridha menggunakan jalan utama yang terhubung dengan tanah kosong tuk sementara. Aku juga kewalahan begitu menata mereka supaya rapi dan tidak mengganggu warga yang hendak berbelanja.

Warga membludak mendatangi bazar kampung setelah waktu magrib. Kami para panitia bergantian menjaga karena harus utamakan salat. Aku kebagian paling belakang beberapa menit sebelum acara sambutan Lurah dan RW di mulai.

Saat jatah salat magrib tiba, aku menyerahkan tugasku sementara pada Marwah. Aku bergegas pergi ke rumah dan bertemu Ibu sedang membuka kantong berisi sesuatu yang membuat penasaran.

“Itu apa Bu? Ibu habis belanja?”

“Ini dari penggemar kamu yang kemarin bawa makanan. Sekarang ia bawakan gaun lengan pendek bercorak bunga mawar. Dilihat dari ukuran dan modelnya cocok untuk kamu.”

Aku langsung terkesan. “Gaun ini cantik sekali.”

“Dan Ibu juga menemukan amplop putih lagi. Seperti biasa.”

Aku membukanya dan isinya sebuah perintah.

Aku sengaja belikan ini mendadak. Karna malam ini kamu harus terlihat manis. Gunakanlah.

Tanpa sadar aku menyetujuinya setelah membaca. Aku sudah seperti terikat batin dengan manusia misterius ini. Rasa takut yang dulu mengintai berbalik jadi rasa penasaran akan setiap kehadirannya. Aku mencolek diriku lupa sesuatu. Salat. Segera pamit ke kamar mandi dan melanjutkan ke kamarku sekalian mengganti pakaian.

"Subhanalah, Kak Oca cantik sekali."

Kalimat itu selalu aku dengar dari dalam rumah sampai kembali ke bazar. Marwah sampai sebegitu tercengangnya. Ia memujiku seperti bidadari kota yang sedang jajan es krim. Hal itu membuat kedua pipiku hangat memerah. Pujian tak luput dari kawan-kawanku yang lain. Bang Ridha dan Ustazah Dila yang mengira aku sedang menyamar jadi bidadarinya Allah. Terlalu berlebihan tapi aku berterima kasih.

Acara sambutan Lurah dan RW sedang berlangsung. Mereka memperkenalkan kegiatan pertama kami dan tujuannya dengan sampaian yang positif. Antusias dan tepukan gemuruh terlontar lantang di udara kemudian dilanjutkan dengan sambutan oleh Bang Ridha selaku ketua karang taruna. Ia turut bangga karena bisa terlibat langsung dengan kegiatan yang terakhir ia rasakan sekitar puluhan tahun lalu. Itu pun waktu masih bocah dan almarhum kakaknya yang merasakan.

Ini yang kami tunggu sejak awal. Peresmian karang taruna kampung dengan pemotongan tumpeng. Bang Ridha dan Pak Hasan serta Pak Lurah melakukan potongan pertama bersama dengan saling menggenggam pisau lalu di taruhkan diatas piring sebagai tanda sah dan resmi diakui. Pesta-pesta kembali dilanjutkan lebih meriah dengan hadirnya biduan dangdut muslim, murid dari Ustazah Dila yang menyanyikan lagu-lagu dangdut populer juga gambus melayu.

Bazar selesai pukul sebelas malam. Ramai-ramai pedagang sibuk membersihkan lapaknya dan lingkungan sekitar dari sampah-sampah. Kami selaku panitia taruna turut merayakan dengan berdoa bersama atas syukur dan kesuksesan acara yang aman, nyaman dan damai. Bang Ridha memerintahkan kami semua untuk istirahat dua sampai tiga hari sebelum dikumpulkan kembali untuk proyek selanjutnya mengingat beberapa hari ke depan sudah masuk bulan Agustus. Bulan yang pasti banyak kegiatan sosial dan acara pesta rakyat yang lebih besar lagi.

Aku sempatkan makan malam lalu salat istikharah sebelum tidur. Ibu meninggalkan makanan di atas meja. Kegiatan yang cukup melelahkan itu membuat Ibu tidak kuat menunggu tuk makan bersama seperti biasanya. Jangan sedih ah, hanya malam ini saja. Besok pagi akan kembali seperti semula.

Mengamati tubuhku melalui cermin di kamar dengan pakaian gaun membuatku terasa anggun. Pantas banyak yang memuji. Entah siapa pun yang memberikan gaun ini, aku sangat berterima kasih karena benda inilah yang membantu menyempurnakan malamku yang lagi ceria-cerianya. Aku bergegas mengganti pakaian dengan piama lalu ditutup mukena putih pemberian Ibu saat ulang tahunku tahun lalu.

Terbangun dengan tubuh masih lemas dan pegal memang bikin tidak nyaman. Tulang seperti enggan bergerak dan memaksaku untuk kembali merebahkan diri. Tapi waktu subuh sudah tiba. Tak mungkin menyerah hanya karena lelah. Aku entakkan seluruh tubuhku untuk berdiri dan berjalan tegas ke kamar mandi. Aku sempatkan mampir ke kamar Ibu dan melihatnya sudah mengenakan mukena.

“Bu, kok sudah rapi duluan sih. Jangan tinggalkan Oca dong. Oca kan mau pahala juga.”

“Kamu pulas sekali tidurnya. Ibu pikir kamu lelah sekali jadinya tidak tega.”

“Ih parah.”

“Ya sudah, kalau tidak mau lebih parah Ibu tunggu. Cepat nanti waktu subuhnya selesai.”

“Siap ibu kesayangan.” Aku langsung tancap gas ke kamar mandi.

Waktu yang cukup senggang untuk aku memanjakan diri di rumah. Banyak kegiatan rumah mulai mencari pekerjaan lagi, masak menggantikan Ibu yang sedang ke rumah kakaknya , mengaji dan yang terakhir menghitung sisa uang koper sambil menunggu waktu magrib tiba. Masih banyak sisanya. Setengah koper saja belum ada. Semua uang ini aku tanamkan sebagai modal pembantu musala nanti. Makanya aku jaga dan rawat supaya tidak hilang meski rumah ini aku yakin tidak ada orang masuk kecuali aku dan Ibu juga pemilik koper ini yang cukup meresahkan kami. Salah aku juga sih tidak dikunci waktu itu. Tapi sekarang aku jamin orang itu tidak akan bisa masuk rumahku lagi.

Aku salat magrib dan isya sendirian. Ibu baru tiba di rumah pukul delapan malam. Aku sengaja menunda makan malamku hanya karena ingin makan bersama Ibu. Aku ingin tahu reaksi dan komentarnya terhadap masakan yang aku buat penuh cinta.

“Wah, masakan kamu enak juga Nak. Jago juga anak Ibu. Ibu nambah yah.”

Pujian itu sungguh membuat hati berbunga-bunga. Ini memang pertama kalinya aku masak tanpa bantuan siapa pun. Aku membantu menuangkan sayur asem dan ati goreng asam ke piringnya. Sungguh nikmat yang luar biasa itu ketika sesuatu yang kita ciptakan di apresiasi baik sama orang yang kita harapkan. Contohnya ketika suami mendapat kejutan dari sang istri yang dinyatakan mengandung anaknya. Orang tua yang mendapatkan kehadiran anak-anaknya saat idul fitri tiba. Banyak lagi deh.

“Nanti aku masakin lagi Bu yang lebih enak.”

Ibu spontan mengacuhkan dua jempol meski mulutnya masih penuh makanan. Ia sempatkan hal itu demi aku senang.

Setelah makan, Ibu menceritakan semua yang terjadi selama berada di kediaman kakaknya. Umurnya beda sebelas tahun dari Ibu. Ia sering berkunjung sama kedua anaknya setiap idul fitri maupun kalo ada waktu senggang. Orangnya baik dan rajin ibadah. Bersyukur aku punya kakak ipar dan keponakan seperti mereka.

“Memang Siska kapan Bu mau dilamar? Padahal dia baru beberapa bulan lulus kuliah. Belum juga kerja kan Bu?”

“September awal. Yah, mereka sudah pacaran dengan kekasihnya dari awal masih SMA. Mungkin merasa sudah cocok dan tahu semua tentang masing-masing mereka, orangtua mereka. Jadinya buru-buru menikah. Kan sayang udah pacaran lama-lama jodohnya sama yang lain.”

Aku sedikit membantah pendapat Ibu. “Yang namanya jodoh Bu meski sudah pacaran bertahun-tahun tapi bukan jalannya tetap saja tidak bertemu. Ada yang bertemu dalam waktu sangat singkat dan langsung berjodoh tanpa didahului pacaran.”

“Iya, Ibu tahu. Jodoh kan juga harus diusahakan. Seperti orang yang kemarin kirim pakaian dan makanan untuk kamu. Kali saja itu jodohmu.”

Aku tertawa menanggapi kalimat melanturnya barusan.

“Aku saja tidak tahu dia laki-laki atau perempuan. Memang kalo dia sama seperti yang aku temui di jalan waktu itu. Aku sih maaf. Aku menolak.”

Kening ibu mengerut. Dia bingung atas ucapanku. “Kenapa? Ia yang ngasih paksa koper kamu ‘kan waktu habis dari bank?”

“Iya, soalnya yang aku hadapi bapak-bapak Bu. Yah gak tua seperti Pak Ahmad tapi seperti lelaki yang berumur 35 tahun ke atas.”

“Kali saja itu jodohmu.”

Lihat selengkapnya