Socha, Penolong Tuhan.

Rizky Brawijaya
Chapter #6

Berkah Dibalik Azab

Kerja bakti yang kelompok karang taruna sosialisasikan kepada masyarakat kampung mendapat penolakan dari beberapa warga di beberapa RT yang enggan dengan berbagai macam alasan. Ada yang lembur di hari libur, ada yang ingin istirahat seharian, ada yang merasa sudah membersihkan lingkungan dekat rumahnya setiap hari dan yang paling jujur mereka malas kalau tidak ada uang dan makannya. Walau Pak Hasan, selaku ketua RW sudah turun tangga tapi hasutan para preman berkedok sesepuh membuatnya kalah dan menyerah. Akhirnya program ini kami tunda atau bisa saja dibatalkan apabila tidak ada solusi berkelanjutan.

Aku emosi di hadapan teman-teman karang taruna. Aku menilai kenapa mental pejabat kampung lemah menghadapi preman-preman tua itu. Pikiranku kembali kumat saat debat dengan salah satu preman tertua di markasnya dekat pasar. Ia menyatakan bahwa membangun aktivitas yang melibatkan masyarakat tak ada gunanya di kampung ini. Butuh upah yang besar dan ongkos makan yang cukup buat kami kenyang kalo melibatkan masyarakat. Juga harus izin dengan kelompok mereka.

Ia mengungkit bahwasanya acara bazar kemarin itu terpaksa terlibat terima karena RT dan RW sudah membayar upeti kepada mereka tanpa sepengetahuan karang taruna. Debat pro-kontra dalam rapat kemarin hanya drama belaka. Hati cukup terkejut mendengarnya. Untuk bergerak maju saja butuh uang oli ( uang pelicin). Bang Ridha dan Ustazah Dila mengaku kaget mendengarnya. Rapat itu terlihat jujur baginya.

Akhirnya kegiatan kerja bakti dibatalkan atas keputusan kami dan Pak RW. Kami tidak memprotes kepadanya soal uang sogokan maupun kinerjanya yang sangat disayangkan karena kami juga butuh izin untuk membuat rangkaian kegiatan yang mungkin bisa diterima masyarakat. Saking kesalnya, Zidan sampai menendang sampah kaleng minuman yang berserakan di pinggir jalan tepat di depan tempat pembuangan sampah yang menggunung, tak tertata dan baunya bukan main. Batalnya kegiatan ini bukan bagian akhirnya. Jadi tidak ada alasan untuk menyerah. Aku pasti bisa.

Keesokan paginya banyak ibu-ibu yang menegurku saat berbelanja di warung makanan maupun warung sayur-sayuran. Kebanyakan pertanyaan yang terlontar membuat telingaku panas. Cukup untuk menyenggol sedikit imanku walau jauh tak sampai runtuh.

“Kalau Mbak Oca tidak kuat mending bubarin saja karang taruna itu. Kampung ini terbiasa hal-hal yang melanggar hukum. Lagian sebagian orang masih banyak yang betah meski soal pengelolaan lingkungan sangat minim.”

“Susah Ca membuat kampung ini berubah kalo tidak pakai uang yang se-gunung.”

Itulah kalimat-kalimat sebagian yang menempel di kepala sampai ku bawa ke dalam kamarku. Aku meminta izin untuk libur dengan alasan tidak enak badan. Ibu paham situasi hatiku yang sedang tidak baik tapi sebuah nasihat tidak pernah ia tinggalkan demi membuat hati anaknya tidak terlalu lama memendam sakit.

“Pasti Allah akan memberi tahu mereka.”

Aku hanya mengangguk sebelum kembali ke kamar.


Siangnya hujan turun deras sekali dihiasi petir yang menyala-nyala. Cuaca cerah cepat berubah menghitam hampir menyerupai malam. Aku tidak bisa ke mana-mana selain memainkan laptop untuk menyiapkan lamaran pekerjaan, menonton drama dan tidur setelah salat zuhur.

Tepat azan asar, aku terbangun tapi cuaca masih sangat dingin karena hujan yang konsisten lebatnya. Petir semakin menggebu-gebu. Aku mengintip di belakang jendela yang kacanya basah air hujan. Gang depan rumahku sangat sepi dari aktivitas manusia. Sungguh menyedihkan padahal kalau tidak hujan banyak anak-anak bermain memenuhi jalan. Ibu memanggilku untuk makan. Ia tahu sejak pagi perutku belum di isi apa-apa.

Ibu mengucap istigfar setiap cahaya kilat petir menyemprot wajahnya. Mataku juga meram ketakutan dan makanan yang ada di atas piring harus segera dihabiskan.

“Ya Allah. Lebat sekali hujannya. Untungnya kamu di rumah.”

Aku menghela nafas. “Aku pulang buru-buru karena omongan masyarakat yang mengejek kampungnya sendiri. Bukan mau turun hujan. Ini lagian hujannya juga mendadak. Aneh.”

“Ya, namanya juga cuaca Nak. Mau lambat atau cepat datangnya harus kita syukuri. Ini anugerah Nak.”

“Hujannya seperti mengancam Bu. Apa ini berkah. Apa mungkin teguran Tuhan.”

Kilat putih tiba-tiba menyela pekat dan cepat disusul seperti suara ledakan bom atom perang dunia ke dua. Kami kompak istigfar sebanyak-banyaknya. Obrolan dipercepat. Untung rumahku sudah tidak bocor seperti dulu. Jadi begitu selesai makan aku dan Ibu yang menemaniku makan bergegas beranjak ke kamar masing-masing sambil berharap hujan dan petir mereda.

Astagfirullah!!!

Tapi nyatanya sampai malam gulita begini hujan tetap kencang hanya petirnya saja yang sudah jarang menyala-nyala. Pertemuan karang taruna ditiadakan. Digantikan nalam selanjutnya jika tidak hujan lagi. Cuaca dingin memaksa aku tidur lebih cepat dari biasanya karena selain tidak ada kegiatan selepas salat isya, tubuhku tidak kuat menahan dingin terlalu lama. Dengan cara tidur mengenakan pakaian tertutup dan selimut super tebal itu cukup membuatku mendapatkan kehangatan.

Hujan mulai reda pagi harinya bergantian dengan suara warga berkerumun panik tidak beraturan. Ibu membangunkan dan segera mandi walau aku sudah memintanya nanti karena udara masih sangat dingin. Akibatnya tubuh menggigil dan terpaksa harus keluar rumah diselimuti handuk besar demi melihat keadaan luar yang membuatku sangat penasaran.

Aku bertanya pada orang yang kebetulan aku kenal melintas depan rumah dengan raut wajah sedikit ketakutan.

“Ada apa Kak. Dari sana warga pada lari-larian. Ada yang bawa pakaian gitu dalam buntilan kain.”

“Banjir Ca di RT 04, 06, 02 sama 012. Selutut. Selokan pada penuh sampah. Jadi pada mampat. Udah gitu datangnya jam tiga pagi. Mendadak banget. Ada yang mati lagi kesetrum di rumahnya.”

“Ya Allah. Kasihan sekali.”

Keempat wilayah RT tersebut memang dataran rendah juga tidak jauh dari sungai kecil. Aku akui banyak sampai berserakan di selokan maupun sungai. Seperti tidak diurus padahal tukang kebersihan lingkungan kebanyakan tinggal di sana. Setiap melintas saja aku, sama Ibu harus belajar tahan nafas supaya tidak mual. Akibat hujan deras hampir seharian, separuh kampung harus ditimpa bencana.

Mau tak mau warga dan kelompok karang taruna berbondong-bondong membersihkan selokan dan sungai sampai banjir surut. Sebagian warga lainnya mengurus korban tewas untuk segera dimakamkan. Bang Ridha memimpin jalannya kerja bakti dadakan dibantu Pak Hasan dan masing-masing ketua RT. Tak hanya lelaki, aku dan beberapa remaja perempuan turut ambil kotor-kotoran meski sempat Bang Ridha melarang dengan alasan kesehatan dan keamanan.

“Sudahlah Bang. Kita kerja untuk pemulihan kampung. Takutnya hujan turun lagi, banjir datang lagi,” kataku sembari memungut sampah ke kantong plastik hitam besar dibantu Novi. Bang Ridha menyerah kemudian kembali melakukan pekerjaannya bersama warga lainnya.

Pakaianku yang semulanya putih berubah jadi coklat sebagian. Tangan ikut ketempelan lumpur basah. Begitu juga Novi dan kawan-kawanku yang bersemangat dari awal kerja. Butuh tujuh jam membuat banjir mereda dan selokan kembali berfungsi normal ditambah dukungan cuaca yang konsisten cerah mempercepat kinerja. Aku sejenak mengisi kekosongan perut dengan makanan yang sengaja Ibu bawakan untukku padahal Ustazah Dila sudah menyumbangkan rezekinya dengan membelikan makanan khusus anggota karang taruna dan kebetulan Novi yang selalu bersamaku.

Novi sempat minat saat aku tawarkan masuk anggota karang taruna tapi pekerjaan yang memiliki jam yang sama dengan kegiatan berhasil mengurungkan niatnya. Usahanya sangat penting karena ia harus melanjutkan kuliah yang terputus akibat kekurangan dana. Ia tak mau membebankan ibunya yang juga bantu memenuhi kebutuhan hidup dengan berjualan. Aku hargai perjuangan sahabatku itu.

Kampung kembali ramai dan normal seperti biasa dan lagi-lagi tak ada pertemuan di kamp karang taruna. Kerja hampir seharian membuat mereka memilih menyisakan sisa hari beristirahat di rumah. Novi memberitahuku bahwa ia juga libur. Tangannya tidak bisa mengaduk coklat akibat kelelahan. Tapi Ibu baik sekali malam ini. Ia bersedia menyalurkan sisa tenaganya untuk memijat semua jari-jemariku yang ia anggap sedang pegal-pegal padahal aku tidak merasakan hal itu.

Aku menghormati tawanannya yang sangat baik. Biasanya aku yang senang memijat tubuh Ibu. Tak lupa ia selalu menyelipkan cerita-cerita yang membuat aku khusyuk menyimak.

“Hujan kemarin menurut Ibu berkah kan?”

“Berkahnya dari sisi mananya Bu? Kemarin hampir seperti badai Bu”

“Berkah buat kamu lah dan semua kawan-kawan karang taruna.”

“Yah, itu memang sudah jadi tugas dan tanggung jawab kami. Tidak hanya sekadar kumpul-kumpul bahas yang tidak ada tujuan. Ada kan yang begitu.”

“Ada pasti. Di dunia ini apa yang tidak ada. Tadi Pak Hasan mampir tidak ke kamp kalian sehabis bersihin banjir?”

“Mm... Iya. Dia nyampein terima kasih udah terlibat. Dia juga bawa makanan buat kami makan sore. Padahal Ustazah Dila sudah bawa. Ibu juga bawa. Aku kenyang sekali di sana.”

“Itu artinya berkah buat kamu. Benarkan?”

Aku tertawa malu. “Iya juga sih Bu. Aku tidak ke pikiran. Yang penting mah ikhlas.”

Lihat selengkapnya