Socha, Penolong Tuhan.

Rizky Brawijaya
Chapter #7

Cabang-cabang Bahagia

(Sebelum grup rapat daring hari kemerdekaan dimulai)

Semua kelompok karang taruna diundang ke rumah Pak RW selepas salat magrib. Ini sangat mendadak, untungnya aku dan teman-teman bisa hadir. Ketua RW kami namanya Pak Sandi. Tujuan mengundang kami untuk makan malam bersama sebagai hadiah karena antusias dan kepedulian kami pada lingkungan khususnya saat insiden banjir waktu itu.

“Kalian pemuda-pemudi hebat yang sangat saya hargai kerja keras dan ketulusannya dalam membangun kampung meski ada penolakan tapi niat kalian tetap kokoh. Sebagai bentuk terima kasih saya makanya malam ini saya ajak kalian makan malam bersama. Dan saya sangat berterima kasih sudah hadir. Satu lagi hadiah untuk kalian dimana kedepannya dikala mau mengadakan acara atau pesta, saya izinkan langsung. Tenang, kalian sekarang dalam tanggung jawab saya.”

Ya, kami sangat bahagia dan bersyukur sekali mendengar pernyataan itu. Ustadzah Dila beberapa kali mengulang ucapan hamdalah dan harapan yang ia lontarkan selanjutnya semoga tak ada pemaksaan seperti sebelumnya.

Makan malam berlangsung hikmat tapi aku lupa mengabari Ibu yang sudah memasak. Mumpung aku sendiri yang belum mulai makan, aku minta izin pada mereka sejenak keluar rumah untuk menelepon Ibu.

“Bu?”

“Iya, kamu pulangnya lama banget. Tadi habis salat magrib buru-buru langsung keluar mau bayar internet. Makan nih, Ibu udah nunggu kamu.”

“Aku lagi di rumah Pak Sandi Bu. Mendadak Ustazah Dila panggil aku pas jalan pulang. Diundang ke rumahnya mendadak buat makan malam.”

“Oh gitu. Ibu makan sendirian dong.”

Pasti perasaan Ibu sedih. Aku memutuskan pulang saja tanpa ikut makan. Mau tidak mau aku lebih menghormati Ibu.

“Bu, aku pulang. Mau makan sama Ibu saja. Assalamualaikum.”

Aku juga langsung izin tanpa basa-basi berkepanjangan. Meski ada kecewa diraut wajah Pak Sandi, aku tidak bisa paksakan bergabung. Maaf juga terlontar untuk semua temanku yang tertunda makannya. Tapi tak ada wajah kecewa sehingga aku lega pulang ke rumah.


Disela makan, Ibu sempat khawatir akan keputusan aku pulang dahulu sedangkan aku sendiri santai dan biasa saja, kecuali kalau aku sekarang makan di sana malahan membuat aku khawatir.

“Udah, makan aja. Lagian aku biasanya makan sama Ibu. Bukan sama Pak RW.”

“Oh begitu. Syukurlah.”

Aku menceritakan semua kejadian di sana sambil memancarkan senyum bahagia. Ibu yang menyimak ikut tertular kebahagiaanku. Setelah bercerita, ibu mengingatkanku sebuah pesan yang harus aku genggam erat.

“Kamu jangan kecewakan Pak Sandi. Ia membuka jalan yang mudah untuk kemajuan karang taruna kalian. Lakukan yang terbaik. Buktikan kamu bisa mengubah kampung ini menjadi lebih baik sesuai keinginanmu dan keinginan Tuhan.”

“Insyaallah yah Bu. Doakan saja.”

“Ibu senantiasa mendoakan.”

Tak lama azan isya berkumandang. Selepas makan selesai, kita segera mengambil air wudhu untuk menjalani salat berjamaah kemudian grup karang taruna kembali aktif meski hanya melalui daring dimana membahas segala macam yang diperlukan untuk acara hari kemerdekaan yang jatuh dua pekan lagi.

Aku dapat pesan dari Novi pagi ini. Dia ingin aku membantu membuat pesanan es nya untuk pesta tunangan teman ibunya nanti siang sebanyak 300 cup. Alhamdulillah, aku turut bahagia mendengarnya. Aku berangkat selepas dapat izin dari Ibu. Entah kenapa rasanya aku senang sekali melihat sahabatku selalu dapat rejeki dari kerja kerasnya.

Alasan Novi meminta pertolonganku karna ia bekerja sendirian. Adiknya sibuk menjalankan ujian sekolah sedangkan ibunya sibuk berdagang.

“Ibu sempat bilang mau libur bantu aku Ca, tapi aku juga tahu Ibu banyak pesanan juga. Jadinya gak mau menunda pekerjaan dia. Kamu gak keberatan kan Ca?” ucapnya sambil menakar air ke dalam termos plastik.

“Gak sih. Lagian aku juga nganggur kok. Hehehe. Oh, iya Nov. Ini kenapa bikinnya coklat tiramisu semua?”

“Yang pesan itu suka banget sama minuman ini. Setelah aku bagi ke kamu waktu itu, terus aku jual ‘kan dan tau gak Ca, langsung habis kurang dari dua jam. Aku panik soalnya waktu itu masih percobaan. Jadi bawanya dikit. Emang, walaupun mahal tapi alhamdulillah orang suka dan mau beli. Makasih penglarisnya yah Ca,” ucapnya antusias.

Keningku mengerut. “Aku kasih penglaris? Perasaan enggak. Ngarang kamu.”

“Yah kan orang pertama yang beli kamu Ca. Itu namanya penglaris bukan?”

Aku tertawa renyah. “Lagian kamu yang nawarin Novi. Yah aku nurut aja dan ternyata enak.”

“Iya, makasih semoga kamu dapat jodoh deh aku doain.”

“Amin.”


Selanjutnya kami terus sibuk mengemas semua yang sudah siap antar. Bagian ini memang memakan waktu lumayan lama dan aku berusaha sigap sampai waktu menunjukkan waktu salat Zuhur datang. Aku sempatkan salat di kamar Novi sendirian karena pemilik kamar sendiri sedang haid. Jadinya tak bisa berjamaah.

“Terima kasih sudah membantuku. Untungnya selesai sebelum waktunya. Kalo tidak, bisa dibatalkan ini pesanan. Iya, Ca, ini aku udah bungkusin 6 es coklat tiramisu. Ini sengaja aku buat sebagai bayaran. Makasih yah Ca sekali lagi. Kamu sahabatku yang paling baik.”

“Ya Allah, makasih yah. Aku gak banyak bantuin kamu. Kamu juga baik Novi, makanya aku mau jadi sahabat kamu. Hehehe.”

Tak ada basa-basi berkepanjangan. Aku bergegas pamit karena Ibu sendirian di rumah. Eh, enggak deh! Dia lagi sama tetangga baruku di ruang tamu. Oke! Sekarang aku ingat namanya. Ale. Dan dia sedang memantau lelaki itu memperbaiki lampu.

“Alaikumsalam salam. Udahan Ca sama Novinya.”

“Hey Ca,” sambung Ale.

“Udah Bu. Hey juga Le.”

“Kamu ingat namaku sekarang? Alhamdulillah,” kata Ale sibuk menaiki meja makan sembari memasang lampu barunya.

Aku hanya tersenyum manis.

“Ini Ca. Ale lagi ganti bohlam rumah. Tadi pagi meledak. Kirain petasan gak tahunya beginian,” alih Ibu.

“Iya Bu daripada Ibu sendiri. Nanti kenapa-napa.”

Tak lama Ale turun dari atas meja karena pekerjaan sudah selesai kemudian ia meminta izin menyalakan saklarnya untuk mengetes apakah lampunya hidup atau mati. Dan ia berhasil melakukan itu.

Ibu berterima kasih, aku demikian dan juga memberikan 2 cup es coklat yang Novi berikan tadi. Ia sempat menolak tapi Ibu yang memaksa Ale menerima hadiah dari anaknya yang sangat cantik ini. Maaf, itu berlebihan.

Ada senyum manis seperkian detik ia lontarkan saat hendak pamit ke kontrakan dan itu menempel di pikiranku sampai aku tidur siang. Akh! Kenapa dengan aku Ya Allah. Dosa apa lagi yang aku buat.



Aku tiba di kantor karena taruna dengan kondisi tubuh setengah basah. Hujan datang dalam perjalanan membuatku terpaksa berlari menerobos. Rambutku habis lepek, begitu wajah sampai dada dan itu cukup terlihat di mata teman-temanku.

“Assalamualaikum.” Aku sedikit gemetar menyambut mereka yang sudah lebih dahulu tiba.

Istighfar Ustazah Dila lah yang paling terdengar diantara yang lainnya. Matanya terkejut dan ia langsung sigap menghampiri ku di depan pintu. Ia melepas jaket kulit yang dikenakan untuk menutupi pakaianku.

“Ke kamar mandi dulu sana. Keringkan rambutmu.”

“Makasih Ustazah.”

“Aku bikinin teh yah.”

“Iya.”

Semuanya aman. Rapat dimulai dengan serius meski tangan dan kakiku masih sedikit gemetar. Sesekali aku menyeruput teh hangat manis buatannya demi meminimalisir datangnya penyakit yang tidak aku inginkan.

Lihat selengkapnya