Delapan tahun seharusnya menjadi fondasi kokoh bagi dua orang yang saling mencintai. Tapi entah sejak kapan, aku mulai merasakan celah yang menganga dalam hubungan ini. Yosy mulai berubah. Dia semakin sibuk, semakin jarang mengabariku, dan makin sulit diajak bertemu.
“Maaf, aku lagi banyak kerjaan. Nanti kita ngobrol ya,” begitu katanya. Tapi "nanti" selalu jadi "besok," dan "besok" tak pernah tiba.
Awalnya aku mencoba memahami. Aku tahu bisnisnya sedang berkembang. Tapi perlahan, rasa percaya dalam hatiku mulai goyah. Rasa khawatir tumbuh jadi curiga, dan curiga menjelma luka yang tak bisa sembuh dengan peluk semata.
Suatu hari, temanku mengirimkan sebuah tangkapan layar dari Instagram. Sebuah foto yang membuat nafasku tercekat. Di sana, Yosy berdiri dengan seorang perempuan. Senyumnya lebar, matanya menatap perempuan itu seperti dulu dia menatapku. Caption-nya singkat: "My person."
Dunia serasa runtuh. Aku tidak marah—setidaknya belum. Yang kurasa hanya hampa. Kosong. Seperti tubuhku berdiri, tapi jiwaku tak tahu harus ke mana.