Satu minggu setelah aku mendatangi rumah Yosy dan mendengar langsung bahwa aku tidak lagi dianggap sebagai siapa-siapa, aku berusaha kembali menjalani hidup. Namun luka itu belum sempat mereda, ketika pagi itu aku mendapat DM Instagram dari akun tidak dikenal.
“Lo cewek yang selama ini ngaku-ngaku pacarnya Yosy, ya?”
“Gue saranin, stop deh main korban. Dia udah gak mau sama lo, ngerti?”
Aku membaca pesan itu berkali-kali, mencoba memahami nada di balik huruf-huruf kasar tersebut. Aku membuka profil pengirim—seorang perempuan muda dengan foto-foto narsis dan bio penuh emoji. Akun itu dipenuhi foto dengan Yosy: makan bareng, di mobil Yosy, bahkan di kamar apartemen.
Dadaku sesak. Tapi aku menahan diri untuk tidak membalas.
Namun si perempuan tidak berhenti di situ. Tiga hari kemudian, Disty dilabrak secara langsung saat ia keluar dari sebuah toko buku.
“Disty, kan?” suara nyaring menyentaknya.
Disty menoleh. Seorang perempuan tinggi dengan rambut dicat pirang kecokelatan dan jaket crop top berjalan menghampirinya dengan langkah penuh percaya diri, tapi nada bicaranya seperti anak SMA yang baru saja merebut hadiah temannya.