Setelah semua kejadian itu, aku tidak lagi merasa marah. Amarahku sudah seperti api yang kehabisan oksigen—padam dengan sendirinya, menyisakan arang hitam di dalam dada. Yang tersisa kini hanyalah kekosongan. Hampa yang sunyi, seperti berjalan di tengah keramaian tapi merasa sendirian.
Malam itu, aku duduk di depan cermin, menatap wajahku sendiri. Mata yang dulu berbinar kini redup. Bibirku yang biasanya tersenyum kini bisu. Tanganku memegang jurnal yang biasa kuisi dengan mimpi-mimpi. Kini hanya penuh coretan luka dan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban.
“Lucu ya …,” gumamku lirih, nyaris seperti bercakap dengan bayanganku sendiri. “Orang yang merebut kebahagiaanku justru datang dengan wajah marah—seolah aku yang salah hanya karena pernah dicintai lebih dulu.”
Aku terdiam. Air mataku jatuh satu-satu, mengalir tanpa bisa kutahan, menetes di atas halaman kosong jurnal yang tak lagi indah. Lalu kutuliskan satu kalimat besar:
“Disakiti itu menyakitkan. Tapi disalahkan karena disakiti ... itu membunuh perlahan.”