Setahun setelah semuanya berakhir, hidupku mulai terasa tenang. Tidak sepenuhnya pulih ... tapi aku mulai bisa tersenyum tanpa merasa pura-pura. Aku sibuk bekerja, mulai menulis lagi, dan mencoba mengisi kekosongan dengan hal-hal baru. Sesekali, Yosy masih muncul dalam mimpi ... tapi aku tak lagi terbangun dengan air mata. Itu cukup bagiku—sebuah tanda bahwa aku perlahan sembuh.
Lalu sebuah pesan datang ...
Dari teman lama, dengan kalimat pendek tapi menghantam seperti gelombang besar:
“Dist, lo udah lihat? Yosy nikah ...
Tanganku langsung dingin. Jantungku berdetak cepat.
Bukan karena aku masih mencintainya ... tapi karena luka lama yang seharusnya sudah tertutup kini terkuak kembali.
Aku membuka media sosial ... dan di sana, tersebar undangan digital mereka. Wajah Yosy tersenyum, menggenggam tangan perempuan dari foto itu—perempuan yang dulu hadir tiba-tiba di antara kami, membawa kehancuran yang pelan tapi pasti ... Sekarang mereka berdiri berdampingan di altar mimpi yang dulu pernah aku rancang untuk kami.
Mereka terlihat bahagia.
Serasi ...
Seolah tak pernah ada hati yang ditinggalkan dalam reruntuhan.