Luka ini belum benar-benar hilang ... tapi aku sudah berhenti menghindarinya. Aku tak lagi menyeka air mata dengan tergesa ... atau menahan tangis seolah kesedihan adalah kelemahan. Aku mulai menerima ... bahwa kehilangan adalah bagian dari hidup—bahkan kehilangan dari orang yang dulu paling aku cintai.
Hari-hariku kini mulai terisi dengan hal-hal kecil yang menenangkan. Aku kembali menulis ... bukan tentang cinta yang menyakitkan, tapi tentang perempuan-perempuan yang patah namun tetap bertahan. Aku ikut kelas online, membaca buku yang dulu sempat terbengkalai ... dan mulai menyusun rencana kuliah S2—impian yang dulu aku tunda karena terlalu sibuk membangun masa depan bersama seseorang yang ternyata bukan ditakdirkan untukku.
Aku juga mulai belajar tertawa lagi ... karena hal-hal sepele—video kucing di Instagram, obrolan receh dengan teman kantor, atau karena lelucon dari anak kecil tetangga kos. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama... aku merasa bisa bernapas tanpa beban.
Saat bercermin ... aku mulai melihat sosok yang berbeda. Mataku masih menyimpan sedih ... tapi ada cahaya baru di sana. Cahaya yang tumbuh dari keberanian... untuk memilih diriku sendiri.
Di jurnalku, aku menulis: