SOKA: Air Mata Api

Agung Wahyu Prayitno
Chapter #1

Elegi Mesiu dan Keheningan


"JDDARRR...!"

Ledakan guntur itu bukan sekadar suara; ia adalah raungan semesta yang membelah tirai hujan dan angin kencang yang kalap. Langit seperti sedang mencabik dirinya sendiri.

"JORRR...! JDARRR...!"

Lidah-lidah petir bergelantungan di bawah gumpalan awan hitam yang pekat, menjilat cakrawala dengan cahaya putih yang menyilaukan. Desis angin yang menderu terdengar seperti napas seekor kobra raksasa, tajam dan berbisa, siap menerjang mangsa apa pun yang berani berdiri di jalurnya. Pohon-pohon besar yang biasanya kokoh, kini tampak lentur dan pasrah, bergoyang mengikuti irama gila sang bayu. Pagi itu, harapan akan kecerahan mentari hanyalah dongeng yang terlupakan. Alam sedang menyimpan dendam yang purba. Hujan badai ini terasa seperti manifestasi amarah dari kedalaman luka yang teramat pilu, sebuah rasa sakit yang meluap menjadi bencana.

"JDARRRJORRR...!"

Di tengah amukan itu, seekor burung gagak dengan bulu yang basah kuyup terbang dengan kepakan yang payah. Ia membelah amarah langit, menembus dinding hujan yang digelantungi kilat. Gagak itu tampak seperti serpihan malam yang tersesat di pagi yang kelam, membawa jerit tangis dari goresan-goresan semesta yang tak kasatmata.

Dengan sisa tenaga, ia terus mengepakkan sayap yang terasa seberat timah karena guyuran air. Ia melayang rendah, memasuki sebuah wilayah sunyi di mana sekelompok pohon kamboja berdiri angkuh. Dahan-dahannya yang meranggas meliuk-liuk di udara, tampak seperti cakar-cakar tengkorak yang mencuat dari tanah pemakaman di bibir tebing. Di bawah tebing itu, sebuah sungai mengalir dengan suara yang mengerang, airnya yang keruh meronta-ronta menabrak batu, seolah ingin melarikan diri dari takdirnya sendiri.

Gagak hitam sekelam jelaga itu akhirnya mendarat, menapakkan kakinya yang kecil pada batang kamboja yang dingin.

"KAAKK...! KAAAAKK...!"

Ia bersuara dua kali, parau dan penuh rahasia. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah seorang lelaki bertubuh kekar dengan rambut putih yang basah kuyup. Lelaki itu sedang bersimpuh, seolah-olah seluruh berat dunia sedang menekan bahunya di depan sebuah gundukan makam yang masih baru.

"JDDARRR...!"

"JORRR...!"

"JEDDARRRJORRRR...!"

Guruh terus bergumam dengan nada mengancam. Kilatan cahaya yang berkelebat di atas kepala lelaki itu menjadi satu-satunya pijar yang sesekali menerangi wajahnya di pagi yang buta itu.

Lihat selengkapnya