SOKA: Air Mata Api

Agung Wahyu Prayitno
Chapter #2

Di Bawah Restu Purnama dan Ciremai

Pekik burung hantu mengoyak kesunyian malam yang dibasuh cahaya purnama di atas sebuah bukit kecil, tepat di kaki Gunung Ciremai yang agung. Nadanya merambat lambat dalam ketukan dua-dua, seolah sedang menghitung waktu yang kian mencekam. Di langit, awan hitam yang ramping berenang gemulai, sesekali melintasi wajah rembulan yang bulat sempurna. Angin malam berbisik rendah, membawa kabar tentang suhu dingin yang mulai menggigit kulit dua sosok lelaki yang tengah berdiri berhadapan. Keduanya memiliki postur tubuh yang tegap dengan tinggi yang hampir setara. Lelaki yang satu mengenakan kaus hitam yang melekat di tubuhnya, sementara rekannya membiarkan dada bidangnya terbuka, menantang hawa gunung.


Sehelai daun kering melayang jatuh, menari di antara jarak sempit yang memisahkan mereka. Seakan diperintah oleh isyarat alam, keduanya hampir serentak memasang kuda-kuda yang kokoh. Suara burung gagak mendadak menimpali pekik burung hantu sebanyak dua kali, menambah aura mistis di puncak bukit itu. Kedua lelaki itu berdiri dalam kesiagaan penuh, siap untuk saling menerjang.

Detik berikutnya, tepat setelah gagak berteriak sekali lagi, lelaki yang bertelanjang dada melancarkan serangan pembuka. Sebuah pukulan tangan kanan melesat cepat mengincar wajah lelaki berkaus hitam. Namun, dengan reaksi yang tak kalah kilat, lelaki berkaus hitam menangkis serangan itu menggunakan tangan kirinya, sembari mengirimkan serangan balasan berupa pukulan tangan kanan yang bertenaga. Lelaki bertelanjang dada itu dengan sigap melindungi wajahnya menggunakan lengan kiri.


Angin mendadak bertiup lebih kencang, seolah ikut terbakar oleh hawa pertarungan. Mereka mulai saling jual-beli pukulan dan tendangan dengan teknik yang mumpuni. Dari setiap gerakan yang tercipta, tampak jelas bahwa keduanya adalah praktisi ilmu bela diri yang ahli. Untuk beberapa lama, pertarungan itu terkunci dalam posisi imbang. Suara burung hantu yang berketuk dua-dua terdengar seperti sorak-sorai penonton gaib bagi laga mereka.


Lelaki berkaus hitam tiba-tiba melompat, tubuhnya berputar di udara saat melayangkan tendangan melingkar ke arah kepala lawannya. Tak mau kalah, lelaki yang bertelanjang dada merunduk serendah mungkin, memutar tubuhnya untuk menyapu tanah dengan maksud menjatuhkan kaki tumpuan sang lawan. Namun, serangan keduanya hanya memakan angin; mereka sama-sama berhasil menghindar.


Baru saja kaki lelaki berkaus hitam menyentuh tanah, lelaki bertelanjang dada sudah meluncur di udara, mengarahkan dengkulnya dengan telak ke arah wajah. Lelaki berkaus hitam segera melompat mundur sembari menahan hantaman lutut itu dengan kedua tangannya. Sialnya, serangan itu hanya tipuan; siku kanan lelaki bertelanjang dada menyusul dengan lintasan yang tak terduga, mengenai sisi kepala lelaki berkaus hitam.


Lelaki bertelanjang dada menapak kembali ke bumi dan tanpa memberi napas, ia kembali melompat untuk mengincar wajah lawannya yang mulai tampak sempoyongan sambil mengusap kepala.

"Peace… peace…" teriak lelaki yang berkaus hitam sambil mendadak jongkok, tanda menyerah.

Lelaki yang bertelanjang dada seketika menghentikan serangannya yang tinggal seujung kuku. "Yah, gitu aja nyerah," ujarnya meledek rekannya yang masih berkaus hitam.

"Udah, ah. Laper nih."

"Makan mulu, otak lo."

"Bertempur itu, perlu power. Kalo gak makan, gimana mau menang?"

"Ngeles…."

Lelaki berkaus hitam itu bangkit dan berjalan santai menuju bibir tebing bukit kecil tersebut. Rekannya yang bertelanjang dada mengikuti, lalu berdiri bersisian di sampingnya. Pandangan mereka tertuju pada pijar lampu sebuah rumah yang tampak berpendar di kejauhan, tak terlalu jauh dari kaki bukit.

"Sekarang jam berapa, ya?"

"Jam 8 sih, ada kali."

"Kayaknya makan malam udah mateng, nih."

"Gue gak yakin."

Tanpa peringatan, lelaki berkaus hitam menyambar kepala rekannya dengan telapak tangan kanan. Sebuah jitakan yang cukup keras.

"Aduh… sue, lo…!" teriak lelaki yang bertelanjang dada sambil meringis mengusap kepalanya.

Sebelum sempat dibalas, lelaki berkaus hitam sudah melompat terjun dari atas tebing setinggi lima meter itu dengan gerakan yang sangat ringan.

"Satu sama, bro…!" teriaknya dari bawah.

"Tempe, lo…!" teriak lelaki bertelanjang dada sebelum akhirnya ikut melompat menyusul.

Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Mereka berlari membelah hutan kecil yang tumbuh di ujung sebuah desa di kaki Gunung Ciremai. Di bawah siraman perak cahaya bulan purnama, keduanya melesat bagai bayangan menuju sebuah rumah yang berdiri agak terpisah dari kerumunan hunian warga lainnya di desa itu.

Di sebuah dahan pohon randu yang cukup besar, seekor burung gagak bertengger dengan tenang.

Lihat selengkapnya