Solawat Cinta

Teh Fika
Chapter #1

01. Keputusan Ayah

Salah satu hal yang paling berharga dalam hidup adalah kluarga. Bahkan, dapat dikatakan bahwa keluarga adalah segalanya. Sehingga eksistensinya dalam kehidupan seseorang dan akan menjadikannya sesuatu yang yang amat signifikan dan penuh arti.

   Keluarga atau kekeluargaan lebih dari sekedar keberadaan ayah,ibu, dan anak dalam sebuah rumah. Keluarga tidak terbatas hubungan darah. Makna keluarga juga tidak sesempit kebersamaan semata. Namun, juga keterikatan hati antar tiap anggotanya meski mereka tak sedang berjumpa.

Suasana di dalam rumah itu kini begitu memanas, ayah dan putri yang sedang bersitegang karena sebuah keputusan yang tak sama untuk masa depan.

"Pokoknya kamu harus ambil jurusan kedokteran." Tegas sang ayah.

"Tapi yah, aku nggak pernah niat buat jadi dokter." Wanita itu berusaha atas keputusan sepihak yang di ambil oleh ayahnya ini.

"Terus kamu mau jadi apa? Mau jadi preman kamu iya?" Sang Ayah semakin berang mendengar penolakan dari putri semata wayangnya.

"Pokoknya aku nggak mau ambil jurusan itu." Wanita itu tetap pada keputusannya, baginya dunia kedokteran itu amat sulit. Walau ia sering menjadi juara kelas dari SD sampai SMP, tapi tetap saja ia tak sanggup. Ia sudah rela melepaskan keinginan untuk masuk jurusan bahasa di SMAnya dan malah mengambil jurusan yang di pilihkan oleh ayahnya, yaitu harus masuk jurusan MIA.

"Oh sekarang kamu udah berani ngelawan ya sama ayah!" Bentak lelaki paruh baya bernama Wijaya pada putrinya. "Dasar anak nggak tau diri, saya sudah menyekolahkan kamu biar pinter. Tapi, malah kamu tambah bodoh seperti ini." Wijaya sangat menyanyangkan, dulu putrinya adalah orang yang amat penurut. Namun, karena sebuah kesalahan yang seharusnya tak ia lakukan

"Yah, aku nggak mau. Aku mau jadi penulis, itu yang aku cita-citakan dari dulu. Aku mau semua orang tau aku dari tulisan-tulisan aku. Pokoknya aku mau kuliah tapi bukan kedokteran melainkan sastra ayah." Tegas anak gadis yang berusia tujuh belas tahun itu, memang benar ia baru saja lulus dari sekolah. Dan keputusan ini merupakan keputusan yang berat menurutnya. Ketika keinginanmu tak sejalan dengan restu orang tua. Disanalah hati akan gundah.

"Baik kalau itu mau kamu, silahkan keluar dari rumah ini. Kamu bukan anak saya lagi dan bukan bagian dari keluarga ini." Usirnya, ia sebenarnya tak tega, tapi mau bagaimana lagi. Ia menginginkan putrinya sukses. Baginya dokter merupakan pekerjaan yang amat menjanjikan, dan pasti akan sangat membanggakan.

"Yah, jangan seperti ini Fika ini anak kita satu-satunya. Ayah tega liat dia tidur dijalanan?" Sang ibu menyela, menurutnya keputusan suaminya ini salah. Putrinya berhak memilih apapun yang ia minati.

"Biarin aja bu, Fika emang nggak pernah dianggap sama ayah. Dia cuma peduli sama Dhea." Remaja yang bernama Fika ini menyela.

"Jaga ucapan kamu ya, apa hak kamu menyebut nama Dhea disini hah!" Wijaya semakin marah, ia tak suka saat Fika menautkan Dhea dalam permasalahan mereka saat ini.

"Tuh kan, dia cuma peduli sama Dhea. Padahal yang anak kandung disini itu aku, sedangkan dia? Cuma anak jalanan yang beruntung di pungut sama ayah." Adunya pada sang ibu.

Plak!

Tamparan terasa melayang begitu saja di pipi putrinya, tangannya bergetar ia tak sadar telah melayangkan sesuatu yang seharusnya tak pernah ia lakukan.

"Cukup! Saya nggak sudi punya anak kandung kalau hanya seperti kamu mending saya memungut belasan anak jalanan yang saya jadikan anak daripada satu anak kandung seperti kamu." Katanya yang kini sudah benar-benar marah. "Sekarang keluar dari rumah saya dan jangan pernah mencoba untuk menginjakan kaki kamu di rumah ini." Murkanya sebelum berbalik dan meninggalkan ruang keluarga itu.

"Baik tuan Wijaya, saya Shafika Efra Wijaya. Ah, bukan nama saya hanya Shafika Efra bukan lagi anak dari tuan Wijaya yang terhormat." Wijaya yang mendengar ucapan Fika pun langsung berbalik, ia heran mengapa putri semata wayangnya bisa berubah seperti ini. Apakah selama ini ia salah mendidik?

"Baiklah silahkan pergi." Putus Wijaya, ia sudah tahan denga tingakh putrinya yang sudah di luar batas.

"Yah, ibu tau ayah marah sama Fika tapi tolong yah jangan usir Fika. Dia cuma satu-satunya anak kita." Bujuk Maya, ia tak akan sanggup jika putrinya harus meninggalan rumah dan tidur di luar sana.

"Masih ada Dhea bu, dia lebih baik dari anak kandung kita." Wijaya menyangkal.

"Ibu nggak pernah nganggap dia anak ibu, anak ibu cuma satu hanya Fika. Dan nggak ada yang lain." Tegas Maya yang tak terima dengan keputusan sang suami. "Kalau ayah tetap mengusir Fika, baik ibu juga pergi dari rumah ini bersama Fika." Ancamnya.

"Ibu," geram Wijaya, mengapa juga Maya mengancam seperti ini.

Lihat selengkapnya