Solawat Cinta

Teh Fika
Chapter #2

02. Koas

Tak ada yang tahu kenapa waktu berjalan begitu cepat meninggalkan sejuta kenangan yang bahkan tak dapat hilang walau dikekang waktu. Ia baru saja teringat dengan hal yang dulu perjuangannya hingga bisa sampai di titik dimana ia sekarang berada.

Hari demi hari yang di lalui oleh gadis yang bernama Shafika Efra Wijaya ini adalah salah-satunya. Tak ada yang mengira bahwa gadis yang dulunya sangat tak ingin mengambil fakultas yang memang bukan passionnya kini telah lulus dengan nilai hampir sempurna.

Shafika Efra gadis yang sekarang berusia 21 tahun itu kini telah menjadi sarjana. Gadis yang sebenarnya memiliki bakat di bidang sastra harus rela mengorbankan nya demi sang ayah. Ia teringat akan kata-kata ayahnya saat ia masih di semester 3.

"Yah, aku bener-bener capek yah. Kedok bukan impiannya aku, bukan yang menjadi minat aku. Aku nggak kuat harus terus terusan ketemu sama rumus yang tak berujung." Keluhnya pada sang ayah yang kini sedang bersantai di ruang keluarga sambil membaca koran.

Tanpa mengalihkan penglihatanya ia bertanya, "Terus kamu maunya apa?"

"Ak-"

"Kalau kamu mau bilang jadi penulis lagi, ayah tetap pada keputusan ayah yang pertama." Sebelum Fika mengatakan apa yang ingin di katakanya sang ayah sudah menjawab dengan tegas.

"Ayah! Sebenernya anak kandung ayah itu siapa sih? Aku atau Dhea. Masa Dhea bisa pilih jurusan mana aja profesi apa aja. Tapi aku nggak? Itu nggak adil." Setelah mengeluarkan semua unek-unek yang sudah ditahanya selama setahun setengah ini. Ia ingin berjalan tapi sang ayah menarik tanganya.

"Sayang, kamu tetap anak ayah. Makanya ayah pilihin ini karena ayah pengen anak ayah berhasil. Dhea ayah biarin karena ayah tau suatu saat nanti dia akan pergi bersama keluarga barunya. Beda sama anak ayah yang satu ini, akan tetap jadi anak ayah." Katanya lembut sambil memeluk putrinya itu.

"Tapi yah, aku punya permintaan,"

"Apa?"

"Aku pengen tetap nulis,"

"A-"

"Eitss, tenang dulu aku pengen jadi penulis tapi tetap kuliah di kedok." Potongnya saat melihat ayahnya akan membuka suara.

"Yaudah, asal pendidikan kamu tetap jalan dan ipk nggak boleh turun. Kalau sampe ayah tau ipk kamu turun nggak akan ada nulis untuk selamanya." Peringat Wijaya.

"Sip yah, makasih ayah," katanya dengan semangat. Tak lupa ia mencium pipi ayahnya.

"Iya sayang, kalau gitu ayah ke kamar dulu."

"Siyap kapten."

Ia tersenyum saat mengingat perkataan ayahnya itu, oleh karena itu ia semangat dalam menghadapi kuliah yang sangat menguras otak itu. Tapi, itu hanya masa lalu karena semenjak beberapa bulan lalu. Tak ada keharmonisan di dalam rumahnya seperti 22 tahun lalu.

"Baiklah, semuanya karena kalian semua kumpul disini saya akan memperkenalkan siapa saja yang akan menjadi pembimbing kalian selama dua tahun koas di rumah sakit ini." Jelas seseorang yang kini menatap sangar semua anak Koas di depannya.

"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."

"Waalaikumussalam," jawab semua yang ada di lobby rumah sakit itu.

"Baiklah perkenalkan saya Dokter Desi saya adalah ahli kandungan di rumah sakit ini. Apa ada yang ingin di tanyakan?" Tanya dokter Desi tapi tak ada yang ingin menjawab karena tatapan mautnya.

"Dokter kandungan? Yang ada pasienya mati mendadak sebelum melahirkan. Wkwk," bisik Fika pada teman sesama koas yang ada di sampingnya.

"Ssttt, jangan ngobrol saat dia lagi ngomong. Menurut rumor yang gue denger dia itu super galak," balas seseorang yang bername tag Dilla.

Lihat selengkapnya