Solawat Cinta

Teh Fika
Chapter #3

03. Mesjid?

"Ck dasar sok banget," gerutu Fika yang berjalan bersama keempat temannya dan tentu saja dengan dokter Rafa.

"Eh Fik," kata Dilla sambil menyenggolnya.

"Hem." Dehemnya sebagai jawaban.

"Dia ganteng kan?" Saat ditanya seperti itu wajah Fika yang tadi memang datar sekarang berubah menyeramkan di mata Dilla.

"I ... iya mangap, eh maaf." Cengirnya sambil mengangkat dua tanganya berbentuk V.

"Kalian lagi ngomongin apasih?" Sela Kevi.

"Nanya aja sama tembok," balas Dilla ketus.

Dengan dramatis Kevi berkata "Lu kenapa sih Dil, dari tadi benci amat keknya ama gue. Salah abang Kevi ini apa?" Kevi Hanafi, seorang laki laki dengan kulit hitam manis dengan gaya pecicilan. Tapi karena wajah hitam manisnya itu ia tak mudah di lupakan.

"Salah lo? Muka lo jelek. Mending sama Rifky aja kalau gue mah, Adem anyem. Nggak kek lo, kek cacing kepanasan." Kini orang yang di sebut namanya menengok kearah mereka bertiga.

"Abdi? Ada apa atuh sama abdi teh?" Dengan logat Sunda yang kental. Rifky Hidayat, pemuda yang berasal dari suku Sunda. Cowok ini adalah orang yang pendiam dengan kacamata yang selalu dipakainya tak lupa buku yang selalu di pegangnya.

"Eh si Rifky ngomong kan barusan? Dengan logat khas Sunda banget, uh imut deh Aa Rifky ini." Jangan lupakan suara cempreng Dilla menggema di lorong rumah sakit ini. Nah kalau ini Aidilla Fitri gadis yang berasal dari Aceh ini adalah wanita yang memiliki tubuh yang cukup tinggi dan memiliki wajah khas melayu.

   Fika yang memang sudah tak memperdulikan mereka bertiga dan masih saja cekcok itu, ia meninggalkan mereka jauh di belakang dan mengikuti dokter Rafa yang ada di depannya. Karena tak melihat jalan dan malah menunduk ia tak melihat kalau dokter Rafa berhenti dan berbalik.

Bruk!

   Karena Fika yang tak sempat menjaga keseimbangan dan berakhirlah dia di lantai. Jangan harap ada adegan kek di ftv-ftv kalau jatuh si cowok langsung nankep terus tatap tatapan, karena itu hanya imajinasi. Mimpi!

"Ngapain kamu duduk disitu? Kek nggak ada tempat duduk aja malah di depan ruang inap orang lagi." Tuh kan kata-katanya aja bikin jleb.

"Eh Fik, ngapain lo selonjoran di lantai. Kek nggak ada tempat duduk aja, wkwk." jangan tanya itu siapa karena pasti si kutu kupret Kevi.

"Nyelem, biar bisa mandi," katanya datar sambil berdiri.

"Emang di lantai bisa nyelam ya?" Tanya Dilla polos.

"Lu lahir tahun kapan sih, kok gini amat." Sindir Kevi.

"21 tahun lalu itu tahun berapa?" Dilla bertanya dengan polosnya.

"Masya Allah," kesal Kevi.

"Sudah-sudah sekarang kita masuk dan jangan lupa buat beri salam." Sebelum masuk Rafa mengingatkan juniornya itu.

"Siyap dok."

"Assalamualaikum," salam mereka pada pasien yang sedang sakit itu.

"Waalaikumussalam," jawabnya lemah.

"Bagaimana keadaan kamu Nis?" Tanya Rafa pada pasien yang bernama Nisa itu. 

"Alhamdulillah, sudah mendingan dok," sahut Nisa masih dengan nada yang amat lemah, bahkan menyerupai bisikan.

"Syafakillah ya," katanya sebelum memeriksa Nisa, dan jangan lupakan ia memasang kaus tangan terlebih dahulu.

"Syukron, Jazakumullah khair dokter."

"Naam, afwan," balas Rafa masih dengan senyum ramah.

"Eh maaf nih dok, kok dokter pake kaos tangan?" Tanya Kevi.

"Karena dia bukan mahrom saya, lagian dia masih gadis jadi pantang bagi saya untuk menyentuhnya.” Jelas Rafa masih memeriksa Nisa dengan stetoskop.

"Ck, sok alim," decak Fika.

Lihat selengkapnya