Bahagia merupakan satu kata yang dapat mendeskripsikan keadaan saat ini. Bagaimana tidak, orang yang selalu aku idolakan dan mimpikan, tiba-tiba saja duduk berhadapan denganku. Kami mulai berbincang-bincang layaknya kawan lama. Seakan jarak yang selama ini memisahkan dunia kami, tidak ada lagi. Aku yang tidak pandai menyembunyikan emosi dan perasaan, tentu sekarang terlihat aneh dengan mulut tersenyum lebar, dan mata yang terus memandang ke arahnya.
Masih dengan takjub dan rasa tidak percaya, terus memandangi lelaki berusia 17 tahun ini. Masih mencoba memahami, bagaimana makhluk indah ini bisa terjebak dalam percakapan intens denganku. Mungkin perbincangan kami bukan hal romantis layaknya remaja yang sedang dala, masa pendekatan, tapi masa itu mungkin saja terjadi jika kami terus melakukan perbincangan seperti ini. Bukankah semua hubungan romantis berawal dari perbincangan? Lama-lama, kami mungkin dekat dan menjadi teman akrab, sahabat, lalu dia mulai menyadari perasaannya, dan mengungkapkannya. Sementara aku akan diam tersipu memikirkan cara terbaik untuk menggodanya, sebelum akhirnya menerima perasaannya. Kurang lebih begitulah kronologi drama percintaan remaja dimulai, menurut salah satu majalah remaja.
"Jadi, jawabannya apa?"
"Ya! tentu saja aku mau!" jawabku spontan dan tersenyum lebar. Sangat yakin bahwa dia sedang mengungkapkan perasaanya dan memintaku menjadi pacarnya.
"Apanya yang ‘mau’? Apa kita sedang membicarakan hal lain? Karena aku rasa perbincangan kita adalah seputar pelajaran matematika yang tidak aku pahami ini." ujarnya dan tertawa kecil tepat saat mataku membelalak terkejut.
Jika saja ada cermin yang dapat menunjukkan ekspresiku saat ini, mungkin akan terlihat wajah yang merah menyala seperti lobster rebus. Memalukan, bagaimana bisa aku menggabungkan lamunan dengan keadaan nyata. Lamunan tentang dia yang tiba-tiba menyatakan perasaannya yang telah lama dia pendam. Lamunan yang mungkin terlalu tinggi untuk menjadi nyata.
Laki-laki itu pun hanya tertawa tanpa mencoba mengatakan apapun, dan melanjutkan pertanyaannya seputar pelajaran yang tidak dia pahami. Dia adalah Gilang Ardana Putra, salah satu siswa yang aktif dalam kegiatan organisasi maupun ekstrakulikuler. Dia rajin, ramah, seorang ketua kelas, salah satu kandidat yang akan dicalonkan menjadi ketua OSIS, dan seperti sosok lelaki idaman remaja putri lainnya, seorang pemain basket. Mungkin bukan seorang kapten atau bintang basket, tapi tetap seorang pemain basket di tim utama.
Kami bukanlah dua remaja yang sudah saling mengenal satu sama lain, walaupun kami sudah sekelas sejak kelas 1 SMA. Dia yang saat itu bersinar sebagai pemain basket muda yang berbakat di sekolah, tentu tidak akan mampu melihatku yang gelap, pendiam, dan penyendiri. Walaupun terdengar menyedihkan, tapi hal ini sangat menguntungkan, membuatku bisa puas memandangi dan mengaguminya dari jauh.
Entah apa yang dipikirkan guru-guru saat itu, hingga saat kenaikan kelas 2 SMA, aku ditempatkan pada kelas IPA yang berisi manusia dengan otak di atas rata-rataa, termasuk Gilang. Sementara kemampuan otakku, bahkan tidak mencapai rata-rata. Jika ada satu bidang pada kelas IPA yang aku ahli di dalamnya, itu adalah Matematika. Sementara lainnya, jangan ditanyakan, bahkan nilai tertinggi dalam pelajaran Bahasa Indonesia adalah 70. Mungkin saat masih di alam barzah, Allah memberikanku kemampuan otak yang mumpuni dalam bidang Matematika, agar bisa membantu teman-teman lainnya yang lemah dalam bidang ini.
Berbanding terbalik dengan sosok Gilang. Sebagai salah satu penghuni kelas IPA terpandai, Gilang adalah yang terpandai dari yang terpandai. Semua mata pelajaran, baik teori, maupun hitungan, mampu dia tebas habis dan diolah menjadi angka 90. Ditambah lagi, dia aktif mengikuti ekstrakulikuler basket dan OSIS, seakan waktu 24 jamnya dia habiskan untuk beraktifitas. Di sinilah aku mulai bertanya, kapan dia punya waktu untuk belajar?
“Aku suka membaca buku. Semua jenis buku akan ku baca saat senggang, bahkan saat menunggu giliran latihan basket. Menurutku, kegiatan basket seharusnya bukan menjadi halangan untuk mendapat nilai baik di bidang akademik. Justru dengan badan sehat karena sering berolahraga, seharusnya kita bisa lebih fokus saat belajar.” Gilang berusaha membocorkan rahasia pintar dan aktifnya dalam majalah sekolah di rubrik “Mengenal Bintang Basket”. Aku yang saat itu menjadi pembaca utama dan pertama setiap majalah yang baru diterbitkan, tentu kagum dengan kata-katanya.
Berawal dari perkataannya itu lah rasa kagum itu muncul. Aku mulai memperhatikannya, mencoba berbicara dengannya, dan berdiskusi dengannya di kala ada kesempatan mengerjakan tugas kelompok. Sampai akhirnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa aku menyukai Gilang. Sekeras apapun usaha dilakukan untuk melupakannya, dan kembali hanya fokus pada kegiatan sekolah, perasaan itu tidak mau hilang. Apalagi ketika kami kembali duduk di kelas yang sama saat kelas 2 SMA, tentu saja mau tidak mau perasaan itu bertahan.
"Jadi itu jawabannya. Bagaimana bisa aku tidak memahaminya. Terimakasih banyak, maaf jadi mengganggu waktu istirahatmu." kata Gilang dengan senyum semringah, setelah berhasil memahami persoalan matematika yang kami diskusikan. Aku hanya tersenyum menanggapinya, berusaha tidak tersenyum lebar atau menjerit histeris karena melihat senyum manisnya.
"Mau ke kantin? Perutku rasanya kosong setelah berusaha memahami peesoalan ini. Akan kutraktir, sebagai ucapan terimakasih karena mau meluangkan waktu untukku." tawarnya sebelum beranjak dari hadapanku.
Bukan kata ‘ditraktir’ yang membuat munculnya perasaan butterfly in my stomach, tapi kenyataan bahwa dia mengajak pergi ke kantin bersama yang membuat perasaan bahagia mengisi rongga tubuh. Jika mengingat apa yang dikatakan majalah, maka saat ini adalah tanda-tanda bahwa laki-laki mulai mencoba dekat. Mengajak wanita yang tidak terlalu akrab dengannya pergi bersama ke suatu tempat, merupakan tanda pertama yang menunjukkan ada ketertarikan dalam diri lelaki tersebut.
“Ya, tentu saja aku mau.” jawabku, berusaha tetap terdengar tenang dan santai, walaupun rasanya kupu-kupu terus berputar di dalam perutku.
Sejak kelas 1 SMA, Gilang dikenal sebagai laki-laki yang cuek. Dia cukup tertutup dengan perempuan dan hanya berkomunikasi ketika dia membutuhkan sesuatu. Banyak yang menyukai pria misterius, pintar, dan seorang pemain basket seperti Gilang. Tapi sebanyak itu pula perempuan yang dia tolak. Aku dengar, dia tidak berminat pacaran sebelum bekerja.
Semua itu hanyalah kabar yang beredar di sekitar kami kaum hawa. Sementara aku dan Gilang juga tidak sedekat itu untuk tahu segala hal yang dia harapkan dan inginkan, atau sekedar pergi ke kantin bersama. Jangankan pergi ke kantin, menyapa saja tidak pernah. Jadi dapat ditebak bagaimana rasa bahagia datang ketika dia mengajakku pergi ke kantin bersama, seakan kita adalah teman dekat.
"Jangan dilihat terus, pipi jus jambunya jadi merah karena malu." Kami yang sudah menjadi satu dengan lautan manusia di kantin, mulai menikmati makanan yang ada di hadapan. Lebih tepatnya, Gilang yang menikmati dengan lahap sepiring nasi goreng dan segelas es teh. Sedangkan aku hanya mengaduk-aduk jus jambu sambil menatap ke dalam pusaran adukannya. Terlalu malu dan salah tingkah saat berhadapan dengan Gilang seperti ini.
"Kita sudah sekelas selama dua tahun bukan. Ternyata sampai sekarang pun kamu tetap anak yang pendiam ya. Pantas dulu bla…bla..bla…" Gilang meneruskan basa-basinya. Sementara aku hanya termenenung memperhatikan dan mensyukuri segala hal yang terjadi saat ini.