Soledad

Anindya Oli
Chapter #3

Memoria

Langit malam telah berganti biru, menandakan berapa banyak waktu yang telah berlalu selama aku tertidur. Namun, pagi itu terasa tidak seperti biasanya, sinar matahari terlalu redup, langit biru sepi tanpa awan terapung, dan angin menghembuskan hawa dingin.

Kali ini, sebuah padang rumput yang luas tersaji di depan mata. Mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi, dimana, dan bagaimana aku bisa berada di sini. Seharusnya saat ini aku berada di atas perahu, di tengah lautan yang sangat luas, terombang-ambing tak menentu, dan tak henti mendengar suara rintihan. Seakan selama tertidur, ada kekuatan luar biasa yang telah menyelamatkanku dari tengah laut, dan mendamparkan begitu saja di padang rumput ini.

Angin berhembus menerpa kulit wajah, dia membisikkan sesuatu. Tidak seperti ombak, angin tidak membisikkan namaku. Kali ini, dengan suara yang berbeda, angin tertawa riang. Mengerikan? Tidak, tawa itu terlalu bahagia untuk dapat membuat siapapun yang mendengarnya ketakutan. Suara tawa itu justru membawa rasa damai. Suara tawa itu memaksaku untuk ikut tertawa bahagia.

Hanya saja, tubuhku berkata lain. Air mata turun perlahan, seolah ada perasaan sedih yang tidak tersampaikan karena suara tawa itu. Mengapa aku menangis? Aku tidak sedang merasa sedih seperti saat mendengar suara rintihan.

Semakin lama, semakin deras pula air mata mengalir. Menguras seluruh tenaga yang sedari tadi aku gunakan untuk berdiri. Lemas, perasaan itu yang kemudian muncul dalam benakku. Rindu, perasaan lain yang muncul kala mengenali suara tawa itu. Sebuah tawa yang mampu memunculkan rasa bahagia, tawa yang mampu membawa air mata mengalir, tawa yang mampu menguras tenaga karena khawatir, dan tawa yang saat ini membuatku merindu.

***

Bukan keluarga sempurna, dan serba berkecukupan yang kami miliki. Ketahuilah, terkadang kami pun meminjam, bertengkar, menangis, dan kesusahan. Bukan materi yang membuat kami tersenyum, tapi senyuman kami ada karena kami saling memiliki.

Aku sadar, kita akan membanggakan apapun yang kita miliki. Walau disadari pula, banyak kecacatan dalam apapun yang kita banggakan. Begitu pula dengan keluarga kecil yang aku miliki. Terlalu banyak hal buruk yang tidak tampak dibalik semua kesempurnaan yang berusaha ditampakkan. Rasanya munafik jika memuji keluargaku adalah yang terbaik. Namun, semua pujian itu sebanding dengan rasa sayang dan saling melindungi satu sama lain yang kami miliki.

Layaknya dongeng yang sering ibu bacakan di malam hari, setiap cerita indah pun memiliki akhir. Kisah bahagia dari keluarga kecil yang berusaha tampak sempurna tanpa cela pun harus berakhir. Tidak tanggung-tanggung, kisah tersebut berakhir di hari yang seharusnya menjadi hari bahagiaku.

Tepat di usia yang ke 16, takdir mempermainkan hidupku. Sebuah kecelakaan membuat semua kesehatan yang selama ini mungkin lupa tidak aku syukuri, harus direnggut dan digantikan dengan sebuah vonis mengerikan dari dokter, yaitu tumor. Dokter bilang, tumor ini tidak membahayakan, asalkan tidak ada aktivitas berlebihan yang membutuhkan suplai darah berlebih menuju otak. Alasannya, tumor ini tumbuh dan menekan pembuluh darah utama menuju otak.

Penyakit tetaplah penyakit, seringan apapun itu, tetap akan membawa perubahan signifikan dalam hidup seseorang yang menderitanya. Sejak hasil pemeriksaan tersebut keluar, selama hampir dua bulan penuh, aku lebih sering terbaring lemah. Bahkan kegiatan sekolah jarang terlaksana dengan baik. Terlalu lelah dapat menyebabkan pusing berkepanjangan, bahkan darah dapat mengalir deras dari hidung. Sejak saat itu pula perlahan senyuman keluarga kami menghilang.

Entah sebuah kebetulan atau bukan, semenjak itu pertengkaran kedua orangtua bukan lagi hal yang dapat dimaklumi. Mereka menjadi egois, saling menyalahkan satu sama lain, dan mulai menunjukkan sifat kemanusiaan mereka. Ya, selama ini aku tidak pernah sadar, ayah dan ibu hanyalah manusia biasa yang tetap memiliki cela dan keburukan. Selama ini mereka telah berperan baik dalam menutupi kekurangan itu, berusaha terlihat sebagai sosok ‘orangtua’ berjiwa malaikat.

Tidak ada siapapun yang dapat melerai atau menenangkan pertengkaran mereka, aku hanya sendiri saat itu, sementara kakakku lebih sering tinggal di luar kota karena kuliahnya. Jika ada kesempatan kakak pulang dan melihat pertengkaran mereka, dia akan keluar hingga larut malam. Meninggalkanku yang hanya bisa menggeram pelan, mengusir kebisingan amukan mereka. Rasanya seperti tidak ada manusia lain yang hidupnya seburuk diriku.

Semua pun tahu, pertengkaran kecil yang dilakukan terus menerus hanya akan membawa derita. Mereka mulai tak menyapa, tak lagi bersama saat makan malam, bahkan tak lagi tidur bersama. Perlahan mereka mencari kebahagiaan lain di luar keluarga ini. Walaupun tak ku sangkal, mereka tetap berusaha terbaik dalam mengurusku.

Pertengkaran pun berakhir tuntas di atas sebuah kertas perceraian. Mereka memutuskan untuk berpisah, sebulan sebelum ulang tahunku yang ke 17. Mereka membicarakan ini semua dengan kakak, tanpa mempedulikan apa yang aku pikirkan dan inginkan. Bukan sebuah hal yang susah bagi kakak untuk menyetujui keputusan mereka. Bukan kakak yang mendengar pertengkaran mereka. Bukan kakak yang selalu menangis di tengah keributan. Bukan kakak juga yang sakit karena menahan emosi yang terus berkecamuk dalam batin dan pikiran. Aku lah yang merasakan semuanya.

Usianya yang telah matang, membuat kakak dianggap sebagai yang paling bijaksana dalam memberi pendapat. Apalagi dengan beraninya dia mengenalkan calon pendamping hidupnya, dan memutuskan untuk segera menikah, tentu menambah kepercayaan orangtua terhadap segala keputusannya. Lalu, bagaimana denganku? Si bongsor yang selalu menunggu ayah dan ibu berkumpul di meja makan. Anak paling kecil dalam keluarga yang selalu melihat dan mendengar pertengkaran mereka. Anak bongsor sakit-sakitan yang selalu dianggap tak ada saat mereka bertengkar. Tidak kah mereka berpikir, aku belum siap menjalani hidup sendiri, atau tidak kah mereka setidaknya merasa bersalah atas perlakuan mereka yang secara tidak langsung menyiksa batin dan pikiranku? Mereka terlalu sibuk mencari kepuasan dan kebahagiaan mereka sendiri, sampai lupa dengan hak berpendapat dan hidup yang seharusnya aku dapatkan, si bongsor yang dilupakan keberadaannya.

Keputusan telah disepakati, walaupun penuh drama hak asuh anak, aku tetap tidak bisa memutuskan apapun. Sekali lagi, aku hanya akan menjadi anak kecil yang harus menurut dengan segala situasi yang diberikan. Bahkan saat pengadilan memutuskan hak asuh berada di tangan ayah, tidak pernah sekali pun saksi dan keluarga besar menanyakan perasaanku. Mereka lebih sibuk menyelamati ayah yang telah memenangkan drama hak asuh, dan menenangkan ibu sebagai pihak yang kalah. Sementara anak kecil ini, selalu menjadi sosok yang paling terakhir terlihat. Mereka hanya memelukku, mengucapkan kata ‘sabar’ tidak bermakna, dan kembali dalam rutinitas masing-masing. Sekali lagi, aku sebagai si bongsor yang selalu diabaikan pendapatnya.

Selama menjalani hari-hari dengan ayah, menyaksikan pernikahan dengan istri barunya, dan menjalani hari-hari bertiga dengan istri baru ayah, tidak pernah ada cerita Cinderella yang disiksa ibu tirinya dalam ceritaku. Aku hidup tenang bersama tante itu – aku tidak akan pernah menyebutnya ibu – dia merawatku dengan baik, bahkan saat sakit. Sementara ibu kandungku? Tenang, dia tidak melupakanku. Sosoknya sering hadir sebagai ‘orangtua’ berjiwa malaikat, seakan aku tidak tahu saja sisi manusia dalam dirinya.

Semua pasti mengira hidupku kembali damai, bahagia dengan ayah dan ibu baru, tanpa ada drama pertengkaran. Sayangnya, tidak ada kedamaian dan kebahagiaan dari segala hal yang dimulai dengan keburukan. Sebaik apapun istri baru ayah merawatku, sesering apapun ibu mengunjungiku, dan sesering apapun aku makan malam bersama keluarga baruku, rasanya tetap sama seperti saat ayah dan ibu sebelum bercerai. Aku masih merasa kesepian.

Selama beberapa tahun tinggal dengan ayah, dan selama itu pula aku semakin tersiksa. Sebut aku sirik, ketika melihat ayah yang lebih banyak tersenyum dan tertawa bersama istri barunya.  Tawa ayah tampak berbeda kali ini. Sebuah tawa lega yang muncul, karena berhasil melalui perdebatan bodoh bersama mantan istrinya. Sebuah tawa menyebalkan yang menyadarkanku, tawa itu untuk kehidupan barunya, bukan karena keberadaanku.

***

Banyak orang yang bercerita, saat rohmu mulai diangkat dari tubuh, kau akan menemukan dirimu berjalan disebuah lorong. Lalu di tepi lorong itu akan ada cahaya yang sangat terang. Mungkin sesaat terdengar pula bisikan dari seseorang tak asing untukmu. Tapi terlambat, saat cahaya itu tampak, mau tak mau kaki akan dipaksa melangkah menuju cahaya, menuju keabadian. Itu lah yang aku rasakan, kaki membimbing berjalan menuju cahaya, dan telinga mendengar suara kakak memanggil namaku. Aku pikir, inilah saatnya, saat aku menuju keabadian.

Lihat selengkapnya