Tepian perahu, memastikan tubuhku cukup seimbang untuk tidak dilontarkan gelombang saat terbaring menatap langit malam. Aroma asin air laut memenuhi indera penciuman. Perlahan aku berusaha untuk duduk dan memandang sekitar yang menyajikan pemandangan air tanpa batas.
Gaun putih tanpa lengan melekat ditubuhku, nampak indah dengan bordiran di bagian tepinya. Sementara rambutku terurai dan melambai mengikuti hembusan angin lembut. Sejauh mata memandang, hanya lautan yang terlihat. Tidak ada makhluk hidup atau manusia lain di sekitarku.
Aku tidak ingat bagaimana bisa terdampar di dalam perahu di tengah lautan luas ini, seorang diri. Aku bahkan tidak ingat memiliki keberanian yang cukup untuk bisa berkelana seorang diri seperti ini. Tapi entah mengapa tidak ada perasaan takut sedikit pun. Perasaan damai yang lebih terasa.
Setelah cukup lama terombang-ambing mengikuti jalannya perahu yang dinahkodai oleh ombak, percikan air seketika berbisik. Bisikan itu memanggil namaku dengan suaranya yang ceria dan bahagia. Tercetak sosok wajah yang tersenyum bahagia saat mendengarkannya, walaupun tidak ku kenali wajah itu dimanapun. Lambat laun ku sadari, bahwa suara itu tidak mirip percikan air, suara itu lebih mirip suara seseorang.
Kini suara itu berganti sendu, suara itu menangis dan meratap. Tangisan itu tidak cukup keras, sehingga yang terdengar hanya seperti suara rintihan. Rintihan yang terasa seperti pisau tajam dan mampu melukai siapapun yang mendengarnya. Tidak, bukan seperti, tapi benar-benar menyakitiku dan mampu membuatku sesak. Aku pun menangis hingga tertidur.
***
Terkadang aku berharap, apa hidup ini bisa seindah dongeng anak-anak yang selalu dibacakan ketika malam menjelang. Kesedihan hanya sementara, dan kebahagiaan abadi akan datang pada mereka yang bertahan dalam kesedihan dan menjalaninya dengan ikhlas. Tapi ini lah kenyataan, kebahagiaan bukan diperoleh dari menerima dan menjalani kesedihan dengan ikhlas. Kebahagiaan adalah salah satu pencapaian yang didapatkan dengan usaha.
"Jangan pernah menganggap hidupmu tidak sempurna. Percayalah, tidak sempurnanya hidup itu yang akan membawamu pada kebahagiaan kelak."
Aku terjebak dalam sebuah ruangan berisi hampir 40 orang. Orang-orang tersebut duduk dengan tenang, tanpa suara, tanpa komentar. Seorang wanita berusia pertengahan 50 berdiri di bagian depan ruangan seorang diri, dan berceloteh mengenai kebahagiaan didapat dengan mensyukuri kekurangan. Wanita tersebutlah yang menjadi penyebab ketenangan ini.
"Sejatinya, kebahagiaan yang kita idamkan itu bukan ditunggu untuk datang, bukan pula dicari. Kebahagiaan yang sesungguhnya hanya datang jika kita mau memilih untuk bahagia."
Serentak, seisi ruangan itu mengangguk perlahan sambil sedikit menulis sesuatu yang menurut mereka penting untuk dicatat. Aku hanya menguap dan kembali merebahkan kepala di atas lipatan tangan. Tidak ada sedikitpun minat menyentuh buku catatan yang sedari tadi tergeletak di atas meja.
Beberapa pasang mata yang terganggu dengan tingkahku, terkadang menatapku sinis. Sementara lainnya, sepakat untuk menggunjing. Seolah aku tidak tahu saja, topik gunjingan mereka pasti lah diriku.
“Lalu bagaimana menentukan pilihan itu? Bagaimana kita tahu, bahwa apa yang kita pilih akan membawa kebahagiaan? Tentu saja berdasar pengalaman, dan pertimbangan rasio resiko dan keuntungan yang didapat. Pikiran kita serumit gerakan-gerakan atom, yang cara kerjanya tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh manusia manapun. Hal ini karena konteks berpikir sudah masuk ranah dunia Nanosains.”
Wanita tadi kembali menjelaskan tentang cara kerja pikiran, dan apa hubungannya dengan ilmu alam. Mataku mengintip dari balik celah kepala orang-orang, mereka tampak kembali fokus mendengarkan penjelasan dari wanita tadi. Aku kembali menguap, mulai bosan mendengarkan penjelasan dari wanita yang sering dipanggil Prof. Ninuk.
Sebagai salah satu guru besar di salah satu kampus terbaik di Jawa Barat, Prof. Ninuk memang memiliki ilmu dan peran besar dalam perkembangan Nanosains di Indonesia. Beliau sangat hebat dalam menjelaskan dan memperkenalkan ilmu yang tergolong baru itu, kepada orang awam seperti kami, mahasiswa-mahasiswa tingkat 1. Raut muka yang selalu tersenyum dan perangainya yang terkenal sabar, menjadi nilai tambah tersendiri bagi kami mahasiswanya.
“Pasti sebagian besar dari kalian bertanya-tanya, apa yang dimaksud dengan ranah dunia nano? Atau saya lebih suka menyebutnya beyond human scale. Biar saya ambilkan contoh termudah yang sering kalian alami, mungkin hampir setiap hari, yaitu melamun. Ada yang tahu, bagaimana melamun masuk ke dalam ranah Nanosains?”
Mulai terdengar gumaman dan bisikan di dalam kelas ini. Ada yang berdiskusi dengan teman di sebelahnya, walaupun mereka sama-sama tidak paham. Ada yang memilih membuka beberapa buku yang dibawanya, dengan harapan akan muncul secara gamblang jawaban atas pertanyaan tersebut. Ada pula yang tampak takut ditunjuk, sehingga memilih untuk menunduk dan berpura sibuk mencari jawaban di buku catatannya. Aku sendiri lebih memilih bersandar di dinding sebelahku dan menikmati kekonyolan tingkah laku teman-teman mahasiswa tingkat 1 ini.
“Melamun bisa dikatakan salah satu tindakan kita untuk mencapai dunia nano, karena kalian bisa membayangkan suatu tempat atau barang, tanpa perlu mengunjungi tempat atau melihat barang tersebut. Gampangnya, saat ini kalian mungkin sudah memikirkan menu makanan yang akan kalian pesan saat makan siang, padahal kalian masih di dalam kelas. Bagaimana kalian bisa membayangkan bentuk ayam goreng, sayur lodeh, sayur bayam, atau bakwan jagung yang saat ini belum ada di hadapan kalian? Lalu bayangan akan pikiran itu mulai membuat kalian lapar, dan mengeluarkan banyak air liur. Seperti itu lah dunia nanosains, tidak dapat dipikir menggunakan logika, karena prinsipnya beyond human scale.”