“Dunia menarikku kembali, hanya untuk menghancurkanku lagi dan lagi.” – Seyrna Lavergne,
Page 1.
• Belte, Oktober
Ponselku bergetar lima menit yang lalu. Pesan singkat dari Paman: “Keluar sekarang.” Aku berdiri di trotoar yang basah dari sisa hujan sore. Angin malam menusuk kulitku yang hanya dibalut gaun tipis—kostum yang ia minta. Di seberang jalan, lampu neon minimarket berkedip sekarat, seirama dengan detak jantungku yang melambat karena pasrah.
Ada dorongan naluri di kaki-kakiku untuk berbalik dan lari. Lari ke mana saja. Ke dalam selokan, ke atap gedung, ke tempat sampah. Tapi keheninganku menahannya. Lari hanya akan menunda rasa sakit, bukan menghapusnya. Jika aku menolak, Paman akan mengancam. Jika Ayah tahu ini, siksaan akan berlipat ganda. Deru halus dari sedan hitam mengkilap yang merayap pelan membelah udara dingin di sekitar. Mobil itu berhenti tepat di depanku. Kaca jendela turun perlahan, memperlihatkan seringai Paman Tio yang disinari lampu dasbor.
"Masuk, Sayang." Katanya.
Aku menarik napas panjang, menghirup udara bebas terakhirku malam ini, lalu membuka pintu mobil. Aku melangkah masuk ke dalam lingkaran setan itu dengan sukarela. Aku tidak mencium baunya dengan hidung. Aku merasakannya dibalik kulitku, bau napasnya yang basi berlendir bercampur dengan semburan eau de parfum mahal Paman yang selalu mengintimidasi. Bau itu adalah alarm kimiawi yang secara patologis harus kupatuhi dalam sistem sarafku. Pikiranku, yang seharusnya menjadi rumah kewarasan, terasa seperti disewa dengan kontrak kebungkaman, aku diusir dari sana.
Mobil hitam yang membawa kami itu mematikan mesinnya di gang sempit dengan bunyi 'klik' yang sunyi. Gedung-gedung di luar bisu, bayangan kota yang berdosa itu menelan kami. Hukum moral tidak pernah berlaku di sini. Paman Tio adalah imoralitas yang menjijikkan. Jari-jari gemuknya mulai menyusuri garis rahangku. Tindakan itu terasa seperti pengetesan kapasitas, bukan belaian. Aku tahu mata dia, di dalam keremangan mobil itu, memancarkan nafsu birahinya. Hak milik atas tubuh ini, hak yang diyakininya telah dibeli melalui kebungkaman dan kekayaan.
"Tenang saja, Seyrna," bisiknya, suaranya tebal dan berlendir.
“Kamu memang... Mengundang, sayang.”
Kata "Mengundang" itu adalah cambukkan, namun aku diam. Ini adalah aksioma yang selalu ditekankan oleh dunia kepadaku. Pesona wajahku yang dipuja adalah dosa. Lekuk tubuhku adalah undangan terbuka. Itu adalah kutukan genetik yang tidak pernah aku minta. Paman mulai bergetar. Dia melucuti, meremas-remas payudaraku, mencium, tergesa-gesa seperti seekor karnivora yang takut mangsanya direbut. Tangannya meraih alat kontrasepsi di atas dasbor mobil dengan gerakan bersicepat seperti biasa.
Kabut datang.
Cepat. Aku harus pergi.
Kabut yang selalu bisa menolongku bertahan. Aku tidak melawan, karena perlawanan berarti aku mengakui apa yang terjadi saat ini adalah nyata. Lebih mudah bagiku jika aku bisa menghilang tanpa jejak emosional. Aku pindahkan fokus pikiranku dari jok kulit mobil yang lengket dan bau keringat ini ke langit-langit apartemenku yang berjamur. Aku tidak di sini. Tubuhku? Itu mantel pinjaman yang basah. Biarkan saja tercemar. Biarkan saja dipakai. Jiwa, sisa-sisa diriku, melarikan diri ke dalam dimensi lain yang dingin dan damai. Aku baru menyadari, air mataku sudah jatuh.
Itu bukan jatuh karena rasa sakit dari desakan kasar Paman. Air mataku jatuh karena pengakuan pahit yang berbisik di palung hatiku:
"Ya. Aku memang layak mendapatkannya. Inilah takdirnya.”
Page 2.
Bagiku, hubungan seks dengan Paman bukan lagi kejahatan, melainkan hukuman yang tertunda atas dosa yang aku bawa sejak lahir. Kepatuhanku yang pasif bukanlah kelemahan, melainkan kepasrahan total pada takdirku sebagai Dosa yang Hidup.
****
Memalukan.
Sang Paman mengira dirinya menang, menikmati kepasrahan tubuh keponakannya yang ia yakini sebagai cinta. Dia tidak tahu bahwa sedang meniduri kekosongan yang dipaksa. Jiwa Seyrna sudah pergi. Hanya tersisa cangkang yang bau parfum dan penuh dosa, sebuah Entitas Penderitaan yang hanya menunggu waktu untuk diakhiri.
****
Aku tahu bagaimana dunia luar melihatku. Dosen, barista di kafe kampus, bahkan teman-teman yang pura-pura bersahabat denganku, semua orang melihatku sebagai sebuah karya seni yang berjalan. Mereka tidak sadar aku adalah paradoks visual: keindahan Tuhan yang berjalan di atas puing-puing Trauma yang membusuk.
Namun, bagiku setiap hari adalah sebuah rutinitas kebohongan sosial yang melelahkan. Aku bangun, mandi. Bukan untuk membersihkan diri, tetapi untuk mencoba menghapus Dosa yang melekat di kulitku. Aku mengenakan pakaian, bukan untuk menutupi tubuh, melainkan untuk melindungi kebusukan yang aku rahasiakan di dalamnya. Siang itu, di kampus seni, aku duduk di barisan belakang. Aku mencatat mata kuliah tentang simetri dan harmoni dalam seni. Harmoni? Sungguh menggelikan. Tanganku menulis teori indah tentang komposisi, sementara pikiranku adalah labirin Post-Traumatic Stress yang berteriak, sebuah disonansi yang tak terobati.
Aku sering menghabiskan waktu di halte bus atau perpustakaan, mengamati orang-orang. Aku melihat sepasang kekasih berpegangan tangan, seorang ibu menenangkan anaknya, atau seorang teman tertawa lepas. Aku tidak merasakan kecemburuan. Yang aku rasakan adalah kesenjangan yang wajar. Aku mengamati mereka seolah mereka adalah spesies yang berbeda, spesies yang beruntung, yang memang berhak atas kehidupan normal.
"Aku tidak termasuk," bisik Keheninganku yang sudah terlatih.
“Aku adalah Pendosa.”
Makan siangku sering terlewat, bukan karena diet. Perutku adalah tempat bersemayam rasa bersalah yang tidak mengizinkan nutrisi masuk. Jika aku makan, aku akan merasakan kegembiraan, dan kegembiraan adalah pengkhianatan terhadap rasa sakit yang harus aku pikul. Di malam hari, setelah berpura-pura hidup selama delapan jam, aku kembali ke apartemen sewaanku yang bobrok. Melewati koridor dalam bayangan sosok wanita paruh baya yang selalu melirik tubuhku dengan pandangan hasrat yang aneh. Aku mengunci pintu dengan dua kali putaran. Dan di sana, di tempat yang tidak dilihat siapa pun…
...Kabut itu kembali menyelimutiku.
“Tuhan itu tidak sempurna, tidak bisa menjawab doaku. Dia mencorat-coret takdirku.”
Aku melepas kulit luarku: pakaian yang indah, riasan yang sempurna. Dan di sana, aku kembali menjadi diriku yang jujur. Seorang wanita yang kotor, berdosa, dan menunggu penutupan hidup. Aku menelan pil Alprazolam-ku dari psikiater, terlentang di atas kasur. Aku membiarkan aroma tembakau, disinfektan, dan asam alkohol yang pekat di ruangan menyambutku.
Keseharianku adalah ritual yang suram: aku hanya hidup untuk mendambakan Kematian.
