Sollac and Lavergne: Sink with Me

Megative
Chapter #2

Bab 1.5: Gagak

“Kebenaran sejati tidak ditemukan dalam kasih sayang, namun dalam penderitaan yang tak terpulihkan.” – Eza Sollac,

Page 8.

• Belte, Oktober

Dunia ini semakin tidak menarik. Observasiku tak pernah berkembang melampaui data fisik murni. Aku hanya bisa mendata Lara saat ini. Dia adalah mahasiswi teladan di kampus, nilai-nilai semesternya cukup baik. Memiliki kemampuan berempati yang sangat tinggi. Dia sering menghabiskan waktu di perpustakaan, membantu orang lain, dan juga menunjukkan ketertarikan yang tidak wajar kepadaku.

Aku telah mencatatnya sejak insiden di lab kimia, saat aku tak sengaja menjatuhkan botol asam, dan dia satu-satunya yang bertanya padaku: “Apakah kau baik-baik saja, Eza?” Dia melihatku sebagai sosok yang rapuh, yang membutuhkan pertolongan, yang membutuhkan ‘cinta’. Aku telah memvalidasi bahwa perbincangan ringan akan memicu respons 'Kepedulian' yang akan mendorongnya kembali kepadaku dalam rentang waktu 24 hingga 48 jam. Ketertarikannya paling mudah diakses. Dia secara konsisten menawarkan data altruisme dan simpati tanpa syarat.

Lara duduk berjarak tiga meja di depanku dalam mata kuliah Pengantar Semiotika. Dosen melontarkan lelucon kering. Lara tertawa. Aku melihatnya: otot pipi berkontraksi (data 1), frekuensi suara bernada tinggi (data 2), pernapasan berubah (data 3). Reaksi yang menurut literatur, disebut 'kegembiraan'. Aku mencatat data itu ke dalam field 'Emosi' di benakku. Mencoba merasakannya adalah anomali yang sia-sia.

“Senang sekali dia. Pasti organ hatinya berfungsi normal, tidak seperti hatimu, Eza, yang isinya cuma darah dan sel. Ha ha.”

Aku tidak menoleh. Aku tahu Eddie sedang duduk di sebelahku, menyandarkan dagunya ke telapak tangan. Jaket kulit hitam, senyum miring yang menghina. Hanya aku yang bisa melihat Eddie di kampus, tidak tahu apa tujuannya. Aku melabelinya sebagai entitas Alogika yang semakin keras kepala.

Aku beralih dari Lara ke buku catatan.

Observasi: Rasa Sakit dan Emosi (Eksperimen Preliminari)

Subjek E: Kucing liar (betina, terlantar). Durasi 'percobaan': 7 menit 45 detik.

• Stimulus: Tusukan jarum pada kaki dan area abdomen.

• Reaksi: Suara melengking (frekuensi ...), otot tegang (defensif), upaya melarikan diri (insting).

• Hasil Analisis: Rasa sakit adalah respons fisik murni terhadap kerusakan jaringan. Belum menemukan komponen emosional yang signifikan.

• Hipotesis Lanjutan: Apakah rasa sakit mental akan menghasilkan Output Data Kimiawi yang lebih intens?

Gangguan Terdeteksi. Aku tutup buku itu dengan cepat, gerakanku presisi. Suara langkah kaki mendekat. “Ah, si Subjek C datang. Yang selalu menawarkan 'cinta' padamu. Menjijikkan, bukan?”

Itu Lara. Rambutnya diikat, wajah sedikit berkeringat. Dia berdiri di samping mejaku. Apakah dia mencium bau detergen pakaian, kertas, atau sesuatu yang sedikit asam? Aku baru selesai membersihkan sisa darah tikus dari sepatuku tadi malam.

"Eza," dia menyapaku, dengan nada yang terlalu hangat, frekuensi yang tidak proporsional. “Tumben kamu tidak langsung pulang? Mau ke perpus?”

Aku memandangnya. Menelitinya. Kekerasan atau seks yang akan aku uji kali ini? Ketertarikan Lara adalah gerbang menuju salah satu, atau mungkin keduanya. Aku mencatat di otak: Subjek C: Lara (Perempuan). Menunjukkan respons 'Cinta' yang tidak proporsional. Reaksi terbaik untuk memicu respons 'Patah Hati' (Data Kehilangan).

“Tidak.”

Jawabku singkat, meminimalkan variabel linguistik. Percobaan dimulai. Lara tampak kecewa. Aku harus memberikannya umpan. “Beri dia senyuman kecil, Eza. Senyum palsu yang tidak mencapai mata. Itu akan membuatnya diam lebih lama dan membuatnya kembali."

Kukendalikan otot wajahku, menghasilkan lekukan tipis yang disengaja di ujung bibir. Itu adalah topeng emosi yang kupelajari dari film dokumenter.

Lara langsung tersipu. Efek visual ter verifikasi. “Oh, aku... aku pikir kita bisa membahas tugas kemarin. Ada yang kurang jelas di bagian...”

Tiga detik, pikirku. Senyum itu efektif selama tiga detik untuk menghilangkan rasa sakit penolakan. "Aku sudah menyelesaikannya," potongku, mengakhiri sesi komunikasi yang tidak perlu. “Tidak ada yang perlu dibahas."

“Cepat sekali kau menghancurkan senyum manisnya. Ayo pulang, Eza. Aku lapar. Atau, kita coba ke lokasi anjing pincang kemarin?” Aku mengabaikan gangguan Eddie.

"Begitu ya," kata Lara, suaranya menurun. Matanya menyiratkan kesedihan. Data Baru: Efek lanjutan dari penolakan. Akan kucatat nanti.

Aku bangkit, Lara masih terpaku, terjebak dalam kebimbangan. Obrolan tidak perlu dilanjutkan. Meniru emosi itu tidak sesulit yang Eddie katakan, itu lebih menarik daripada mencari definisi cinta yang orang-orang idamkan. Aku berjalan keluar, meninggalkan Lara kebingungan dan rasa sakit kecil di organ hatinya. Sebuah residu yang belum layak dianalisis.

Page 9.

Aku berjalan menjauh dari gedung kampus. Urgensi Eksperimen: Nol. Prediksi: Lima menit. Hanya itu waktu yang dibutuhkan efek senyumku pada Lara untuk menghilang. “Hebat, Eza. Kau pandai mencabut akar orang lain dan meninggalkan kekosongan.” Eddie muncul di sebelahku. Sedang membakar rokoknya, asapnya mengkhianati Alogikanya.

"Aku hanya menguji batasan kerentanan," gumamku. “Dia adalah subjek yang mudah diprediksi. 'Cinta' adalah kelemahan dan ilusi yang membusuk.” Kami terus berjalan sampai di gang belakang. “Kita akan cari anjing itu?”

Lihat selengkapnya