Tidak henti-henti dua matanya menatap sendu, seraya tegas lambang negara mengepakan dua sayapnya berwarna emas dengan lima sempurna lambangnya. Ia sekali menghela napas, raut wajahnya terhujam rasa kecemasan. Seragam aparat lengkap dengan atributnya, begitu membuat terasa tegas dalam setiap tindakan penuh amanah dan ketulusan pada negara ini.
Sepi terasa sunyi ia terduduk sendiri, dua matanya tidak lagi menatap sendu lambang negara ini semakin berkilau kepakan dua sayapnya ketika terpapar cahaya sinar matahari dari celah jendela. Berat rasanya ia beranjak bangun membawa tugas negara yang di embannya, ia harus tulus mengabdi dengan penuh ketulusan, tidak bermuara pada kesewenang-wenangan, harus menunjukan sikap keadilan pada setiap titik permasalahan.
Dekat sekali wajahnya setengah mendongak, jelas melihat lambang negara berdiri tegak diatas wajahnya. Semakin tegas bulat dua bola mata lambang negara ini, seraya mengajak kepakan dua sayapnya untuk terbang tinggi menjaga kesatuan negara ini. "Itu bukan sekedar hanya isu saja." Lelaki bertubuh tegap berbalik, ia sejenak menatap wajah menua tegas berseragam sama dengannya, aparat lengkap dengan atributnya.
"Saya mendapatkan isu ini dari anggota intel, tentu isu ini bukan hanya sekedar isu saja dan isapan jempol. Ohh, iya Lambok. Kabar keluarga kamu bagaimana di medan?" Jelas guratan raut wajah cemas, di lihat dari atributnya, lelaki itu punya jabatan tinggi, ada lambang pangkat bintang tiga pada kiri-kanan pundaknya.
"Kabar keluarga saya di medan baik-baik saja, Ndan," jawab Lambok, inspektur jenderal berpangkat bintang dua.
Kini raut wajahnya masih tergurat cemas, ia kemudian terduduk berhadapan dengan komisaris jendral berbintang tiga. "Saya berharap isu itu tidak pecah terjadi, Ndan. Tentu akan banyak merugikan dan pastinya akan sangat berdampak sekali dengan perekonomian semakin tidak stabil," semakin resah cemas seraya batinnya di hantui tanggung jawab besar.
"Harapan kamu dengan saya sama, Lambok. Kita tidak berharap sama sekali bangsa ini hancur. Tapi kita sebagai abdi negara ini, kita harus tetap menjaga keutuhan bangsa ini. Saya sudah kordinasikan pada semua kepala-kepala kesatuan di daerah, ya salah satunya kamu. Untuk saat ini kamu fokus untuk berkantor di solo," Sedikit tersenyum komjen pada anggota yang hanya beda satu bintang itu.
"Siap Ndan," tegas jawabannya namun terdengar cemas.
***
"Pancen angel golek dhuwit, mung dagang sing sepi,"
"Iki ditambahake menyang masalah kerusuhan. Apa sing bakal kelakon kanggo kita mengko?"
Dua wanita pedagang batik, pasar klewer menggerutu. Sepi tidak satupun pembeli mampir atau sekedar membeli satu-dua potong macam-macam batik. Hanya pajangan aneka macam batik tidak tersentuh tangan-tangan pembeli, apalagi masih banyak tumpukan aneka macam batik dalam toko. Sekalinya ada pembeli, pasti menawarnya jauh sekali dari harga jual.
"Perdagangan sepi. Yen ana wong sing tuku, sing didol ora kira-kira," Wanita bertubuh kurus, wajahnya sejak tadi kesal saja dan bibirnya tidak akan pernah capek mengeluh dan menggerutu.
Sepanjang lorong koridor pasar, memang sepi hanya berdiri para pedagang di depan toko sedang menanti pembeli yang tidak kunjung datang. Sudah sampir satu tahun ini pasar klewer, sentra batik kota solo tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Krisis ekonomi membuat banyak para pedagang mengeluh, pendapatan mereka saja buat makan masih kurang, apalagi untuk stok dagangan, belum bayar sewa toko saja terkadang masih menunggak.
"Wah, sirahku mumet. Ci Regi, teka. Mesthine dheweke pengin ngumpulake sewa toko,"