Sayup terdengar suara dendangan lagu stasiun solo balapan dari corong besar toa tergantung di atap stasiun kereta api.
Lalu-lalang penumpang naik-turun dari kereta api tidak membuat sepi salah satu stasiun tertua di kota solo. Liukan rangkaian gerbong-gerbong kereta api meliuk berjalan diatas rel baja memanjang. Langit tampak sendu sebentar lagi akan segera mengusir senja mendatangkan gelap malam. Desisan semilir angin menggerakan rambut-rambut seraya ingin berterbangan ketika terhempas angin rangkaian gerbong kereta panjang lewat berjalan di tepian peron.
Terduduk menuggu penumpang di jejeran kursi-kursi panjang, menunggu kereta berhenti membawanya ketujuan masing-masing. Stasiun kereta solo balapan tidak pernah tertidur barang sekejappun, selalu terjaga banyak pasang mata kaki-kaki naik-turun dari gerbong kereta.
Roda-roda baja bulat kereta berputar perlahan kedepan tercekam besi tebal lempengan cakram remnya. Setiap gerbong terasa berat terduduki wajah-wajah hanya terdiam dalam kecemasan, tentu jauh di dalam benaknya sudah bergelut rasa ketakutan yang mengancam jiwanya.
Lokomotif, kepala kereta berhenti, tentu rangkaian gerbong di belakangnya ikut terhenti. Bergegas semua pasang kaki membangunkan sepasang mata kakinya agar segera turun untuk tidak berlama-lama dalam deretan kursi kereta. Peron serentak di padati banyak pasang kaki berjalan cepat mengeluarkan suara kecemasan di sertai roda-roda kecil tas koper di tariknya berjalan oleh pemiliknya.
Malam telah datang membawa gelap membawa sahabat setianya sang indung rembulan yang begitu sempurna menyinari sinarnya pada semesta. Lirikan nakal selalu berkedip mata-mata kecil bintang menyelinap di antara langit gelap, seraya mengajak bermain pada wajah-wajah penuh kecemasan.
Namun tidak pada seseorang, ia serasa malas untuk membangunkan dua mata kakinya agar segera terjaga dari tidurnya.
Lambok masih terduduk dalam gerbong kereta, wajahnya sejak tadi hanya tertegun melihat keluar kaca jendela. Ia hanya menatap diam melihat wajah-wajah terduduk menunggu kedatangan kereta jurusan lainnya. Jauh dalam relung hatinya, ia merasa cemas dan khawatir dengan keadaan keluarganya di medan. Sedangkan ia harus tetap siaga berada jauh dari kampung halamannya, rasa cemas dan takut itu selalu mengekang hatinya jauh dari orang tersayangnya.
Ia sudah berdiri, terpaksa membangunkan dua matanya kaki agar segera terjaga bangun. Dua tangannya menarik handle bagasi yang ada diatas kepalanya, dan satu tangan kanannya menarik handel tas koper.
Sekali ia menoleh kebelakang hanya terlihat kosong sepanjang rangakain gerbong kereta. Ia sudah sampai di stasiun solo balapan setelah ia bertemu dengan atasannya. Kini ia harus terpaku dalam tugas untuk membutikkan dirinya pada negara untuk mengabdi setia menjaga keutuhan bangsa ini.
***
"Sulit rasanya, Mas," ragu jawaban lelaki berjaket levis hitam pada lelaki tua berdiri di sampingnya. Mereka berdiri depan toliet kosong pintunya terbuka, jelas kakus jongkok tidak ada yang membuang hajat hanya kucuran air saja di biarkan bebas keluar dari krannya tanpa ada wadah ember.
"Sampean takut?" Lelaki berjaket levis hitam itu sontak terdiam saat melirik amplop patih, pasti di dalamnya banyak lembaran uang.
Lelaki tua itu tersenyum, wajahnya mengerut tua, tapi jelas tersirat pada guratan raut wajahnya jika ada kelicikan dan kebencian pada wajahnya. Amplop putih di letakan pada meja wastapel beralas keramik warna biru dan di gesernya kekiri pelan oleh tangan kirinya.