Solomon Brothers

Artha Julie Nava
Chapter #1

Welcome to the Ghetto

Damai semestinya selalu bersama dengan senja yang lengang.

Seperti hari ini, saat hujan baru saja reda dan langit menampakkan rona kemerahan di sela-sela gumpalan mendung yang tersisa. Angin menyelusupkan rasa dingin ke setiap celah daun, ranting, dan pori-pori kulit.

Sebuah mobil van tua warna putih kusam melintasi ruas jalan yang sunyi di sebuah kawasan pemukiman tua di daerah Detroit. Pengemudinya seorang pemuda usia duapuluh tahun. Tinggi, berparas cakap, dengan sepasang mata hitam pekat yang dinaungi alis tebal, menatap lurus jalanan di depannya. Kulitnya berwarna cokelat dan rambut ikal pendek berwarna hitam. Lengan baju kaus putih yang dikenakannya sedikit basah, terkena percikan air hujan yang merembes masuk melalui celah jendela mobil yang tak tertutup rapat.

 Di sebelahnya duduk seorang gadis muda. Wajahnya bulat telur, rambutnya yang lurus sebahu setengah tertutup oleh syal hijau muda yang ujungnya dililitkan melingkari lehernya. Sedangkan sepasang matanya yang bersorot jernih, dengan cermat memperhatikan situasi di luar. Ia mengenakan jaket tipis warna putih dengan aksen garis vertikal warna pink. Di bahunya tersampir kamera, dan buku catatan terbentang di pangkuannya.

“Kita sekarang sudah memasuki kawasan yang ingin kau lihat,” kata Joe, nama si pemuda itu, ketika dia membelokkan mobil memasuki sebuah ruas jalan yang sepi. “Welcome to the ghetto[1].”

Gadis di sebelahnya hanya diam. Joe meliriknya. Ada kesan rasa takut merayap di wajah manis itu. Ekspresi seperti itu sudah biasa ia lihat. Siapapun yang baru pertamakali melintasi kawasan tua di Detroit ini, pasti akan bereaksi serupa. Kawasan ini tidak hanya tua, namun juga bisa membuat bulu roma siapapun yang melewatinya meremang tegak.

Rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan itu banyak yang terlihat lapuk. Temboknya menghitam termakan umur, gelap bagaikan rumah hantu. Pohon-pohon tua menjulang di kanan-kiri jalan. Ranting-rantingnya menghitam, terjuntai dengan daun yang mulai menguning. Rumput dan belukar liar memenuhi halaman beberapa rumah, pertanda pemiliknya sudah menelantarkannya. Cuaca mendung dan aspal basah selepas hujan hanya menambah kesam muram dan mati di kawasan itu.

Sebagian rumah terlihat lebih parah. Ada yang separo terbakar, pintunya miring, dengan dindingnya yang hampir roboh, serta halaman yang dipenuhi tumpukan barang bekas. Beberapa ekor tikus got terlihat keluar dari tumpukan barang itu. Di beberapa rumah tergantung potongan papan tripleks bertuliskan: “This house is watched, do not trespassing[2].” Beberapa orang tua berkulit hitam dekil tampak berjalan mendorong kereta troli penuh berisi barang-barang bekas.

“Itu diambil dari tempat sampah,” kata Joe. “Mereka sedikit gila. Kerjanya hanya mondar-mandir dengan troli kesana kemari, mengumpulkan apapun barang yang mereka anggap berharga, ditumpuk di depan rumah, dan itulah harta mereka.”

Jules, gadis yang berwajah khas Oriental itu berusaha untuk tersenyum meskipun kecut. “Aku sering melihat kemiskinan di negaraku dulu,” katanya. “Tetapi di sini ternyata lebih menakutkan. Aku tidak menyangka bakal melihat pemandangan separah ini. Bagaimana mungkin masih ada yang tinggal di rumah seperti itu? Pasti mereka kedinginan sekali saat musim dingin tiba.”

“Ini belum seberapa.”

“Ohya?” Jules mengerutkan kening.

“Di blok lain, kondisinya lebih buruk. Lebih banyak rumah kosong yang ditelantarkan. Orang-orang pengangguran dan gelandangan ganti menempatinya. Dan tentu saja tidak ada yang bisa hidup tenang di sana, karena banyak yang menggunakan rumah-rumah kosong itu sebagai tempat untuk menyembunyikan heroin, atau untuk memasak crack.”

“Eww…

Joe tersenyum, dan kembali mengarahkan konsentrasinya ke jalanan di depan mereka. Sementara Jules mulai mengarahkan kameranya untuk mengambil beberapa foto bangunan lapuk yang menarik perhatiannya. Ia segera menurunkan kembali kamera tersebut ketika melihat beberapa pemuda melintas. Para pemuda itu berpakaian khas. Kaos jersey dengan logo tim sport, topi, dan celana panjang yang sedikit kedodoran. Ketika mendengar suara mobil mendekat, mereka menghentikan langkah dan menoleh ke arah mobil van yang dikendarai Joe. Salah satunya memandang mereka berdua dengan tajam. Joe menepuk lengan Jules, memberi tanda agar segera menurunkan kameranya. Jules menurut. Untunglah seseorang kemudian memanggil, "Green!" - Lantas pemuda jangkung itu kemudian melanjutkan langkahnya, seolah-olah tidak peduli lagi.

“Kamu masih ingin terus memotret?”

“Kita lanjutkan lain waktu saja, setelah perasaan seram di hatiku lenyap,” ujar Jules. "Apakah mereka orang jahat?”

“Tidak juga. Tapi kamu harus berhati-hati. Banyak anggota geng di sini. Mereka mudah curiga pada orang lain."

”Ohh..."

Lihat selengkapnya