Joe tidak menanggapi perkataan Jules selanjutnya, karena kini perhatiannya beralih ke persimpangan di depannya. Ia membelokkan mobil ke ruas jalan sebelah kanan. Ruas jalan itu juga sepi, namun suasananya sangat berbeda dengan yang baru saja mereka lintasi. Jalanan di depan mereka kini terlihat lebih terawat, dengan jajaran pohon tua rindang di kanan kiri, jalur berumput hijau, jalan setapak yang rapi untuk pejalan kaki, dan deretan rumah-rumah tua yang terawat baik. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan sebuah rumah berdinding bata. Joe mematikan mesin mobil, dan keduanya kemudian turun.
Rumah tua milik Mae, nenek Joe itu, termasuk sedikit lebih kecil dibandingkan rumah lain di kanan-kirinya, namun terlihat sangat nyaman dan bersih. Dindingnya terbuat dari bata berwarna merah kecoklatan dengan alur grout yang nampaknya baru diperbaharui. Atapnya berwarna abu-abu tua, dengan tepian dari kayu bercat putih. Rumput di halaman dipotong rapi. Rumpun tanaman di sudut kiri-kanan tangga dipangkas. Sebuah pot putih berisi semak lavender ditaruh di dekat tangga. Sedangkan sebuah kursi panjang bercat putih yang terbuat dari kayu pohon birch nampak menghiasi teras.
“Tiap minggu aku menjenguk nenekku, membantunya memotong rumput dan mencuci baju-bajunya,” ujar Joe. Mereka kini berdiri tepat di depan pintu. Dia memencet bel.
“Kursi itu sudah ada di sini sejak aku kecil. Kakekku yang membuatnya. Sudah tua, namun awet karena Mae selalu merawatnya,” kata Joe sambil menunjuk ke arah kursi panjang itu, mempersilahkan Jules untuk duduk. Dia sendiri bersandar di tembok rumah dan memencet bel sekali lagi. Kemudian dia bersidekap menunggu pintu dibuka.
Jules membenahi lilitan syalnya, lalu duduk sambil merapatkan jaket. Udara yang dingin mulai terasa menggigit tulang.
Tidak ada jawaban sama sekali dari dalam rumah itu. Joe memencet bel sekali lagi.
Seekor tupai berbulu hitam berlari cepat melintasi halaman. Joe mengikuti gerakannya dengan pandangan matanya, sebelum kemudian tatapannya tertumbuk pada sebuah pot yang pecah di tangga teras samping, serta jejak lumpur sepatu yang mengarah ke halaman belakang. Ekspresi wajahnya berubah seketika.
“Ada apa?” tanya Jules.
“Kamu tunggu di sini sebentar,” ujar Joe, sebelum kemudian ia melangkah cepat menuju halaman belakang.
Jules pun beranjak dari kursi. Jantungnya jadi berdegup ketika dia melihat jejak sepatu tersebut. Perasaan buruk tiba-tiba menyergapnya. Dengan sedikit takut, ia bergegas berlari kecil menyusul Joe ke halaman belakang.
“Ada maling?” tanya Jules cemas.
“Sepertinya iya. Perasaanku jadi tidak enak. Ayo, kita cek pintu depan lagi,” jawab Joe. Dia memberi isyarat dengan tangannya, agar Jules segera mengikutinya untuk kembali ke teras. Kemudian dia memutar gagang pintu depan yang ternyata tidak terkunci.
“Kebiasaan buruk,” gerutu Joe. “Mae lupa mengunci pintu rupanya.”
Mereka berdua masuk ke dalam dengan hati-hati.
“Mae?” panggilnya.
Tidak ada jawaban. Mereka berdua melebarkan mata, berusaha membiasakan diri dengan ruangan yang sedikit remang itu. Kemudian tanpa sengaja pandangan mereka tertumbuk pada sesosok tubuh yang terbujur di lantai. Seketika itu juga, Jules menjerit histeris dan berbalik hendak lari keluar rumah.
Joe dengan sigap langsung menahan gadis itu agar tidak keluar rumah dulu.
“Joe, kita harus segera mencari bantuan!”