Sementara itu di kamarnya, Jules mengunci diri dan tidur tengkurap di ranjangnya yang nyaman. Air matanya sudah mengering dan rasa paniknya sudah mereda, meskipun ia belum bisa mengusir bayangan kejadian mengejutkan tadi.
Baru pertama kali ini dia melihat orang yang terluka parah akibat perampokan, dan untuk sejenak dia mulai meragukan pilihannya. Apakah dia sanggup menghadapi situasi seperti itu kelak saat menjadi konselor? Kejadian hari ini membuatnya sadar bahwa ia bakal sering menyaksikan peristiwa tragis semacam ini.
Samar-samar terdengar suara Mama berteriak di ruang bawah, diselingi dengan suara Papa. Jules sudah hapal dengan karakter Mamanya. Suaranya akan makin meninggi dan meninggi, jika tak setuju dengan suatu hal.
“Kau tahu pemuda itu tinggal di kawasan berbahaya, bukan? Orang kulit hitam, lagi! Kau lihat sendiri apa yang terjadi hari ini! Anak kita sudah dibuatnya trauma!” suara teriakan Mamanya kembali terdengar.
“Aku tahu. Tapi tahan emosimu, Ma. Joe tidak bersalah. Kau dengar dari Jules sendiri, itu perampokan.”
“Pokoknya aku tidak mau melihat dia bersama pemuda itu lagi. Titik!”
Terdengar suara pintu dibanting. Jules menggigit bibir. Perasaan bersalah merayap di hatinya. Sejak awal sebenarnya dia sudah menyadari, bahwa Mama tidak suka dirinya berteman dengan Joe. Sementara masih bisa melempar senyum dan menyapa Joe dengan ramah.
Sikap orangtuanya membuatnya sering merasa tidak enak hati. Sekali waktu, akhirnya dia mengakui bahwa Mamanya memang melarang dia berteman dengan Joe. Ia melihat mendung seolah melintas di wajah pemuda jangkung tersebut, dan membuatnya makin merasa bersalah.
“Maafkan aku,” ujar Jules, saat mereka berdua sedang bersantai menikmati cuaca sore di tepian sungai Detroit, yang membatasi Amerika dengan Kanada.
Angin lamat-lamat berhembus, membuat rambut Jules yang panjang tersibak. Joe memperhatikannya sejenak, dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah sungai yang panjang membentang, dengan air jernih berwarna biru kehijauan itu.