Setelah dua jam menyetir, Joe akhirnya sampai di Detroit Medical Center dan bergegas menuju emergency room.
Aroma rumah sakit ini sudah dikenalnya dengan baik. Dia bekerja di tempat ini, membuang benda-benda berkategori biohazards ke tempat tertentu dan memastikan setiap ruangan pasien dalam keadaan bersih. Tak disangka, sekarang justru neneknya sendiri yang dirawat di rumah sakit ini.
“Beginilah hidup,” gumam Joe pada dirinya sendiri.
Nenek yang selalu dipanggilnya dengan sebutan Mae itu kini terbaring lemah di atas pembaringan. Selang infus menempel di lengan kirinya.
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Mae?” sapanya.
“Sedikit lebih baik. Tapi tentu saja luka ini terasa menggangguku. Untung obatnya bekerja dengan baik, jadi aku bisa tidur nyenyak tadi.”
Joe mengamati keadaan neneknya. Luka parah akibat peluru yang menyerempet rusuk neneknya itu sudah bersih dan dibalut rapi. Dokter, ahli bedah, perawat, dan semua yang bertugas di emergency ini sangat cekatan. Luka di pelipis kiri neneknya pun sudah dibalut.
Hm, bisa menyelamatkan jiwa seseorang pastilah terasa heroik. Dia kadang berangan-angan menjadi dokter atau ahli bedah. Tapi dia juga tahu, mereka pun kerap merasa terpuruk saat gagal menyelamatkan nyawa pasien. Ya, sebab nyawa bukan organ. Begitu lepas, ia tak bisa diganti.
Mae menatap Joe dengan lembut, memberi isyarat agar pemuda berkulit gelap itu duduk di sebelahnya. Joe menurut. Ditatapnya neneknya dengan sayang sekaligus kagum. Dalam keadaan lemah seperti itu, Mae masih tetap mengagumkan. Matanya bersinar penuh daya hidup, memancarkan semangat yang tinggi.
“Untung sekali kau datang pada saat yang tepat, Joe. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku kalau kau terlambat sedikit saja.”
“Yeah,” ujar Joe. “Aku tidak menyangka kau mendapat kejadian seperti itu."
“Mamamu juga belum ke sini.”
“Oh ya? Tapi tadi dia yang menelepon dan menyuruhku agar segera membantunya menemanimu,” ujar Joe.
Mae menggeleng. “Tidak ada siapapun sedari tadi.”
Joe mendesah. “Seharusnya dia menjagamu. Kuharap Mom tidak mabuk lagi hari ini. Kecanduannya pada alkohol semakin parah saja dari hari ke hari.”
“Jangan terlalu kau pikirkan soal mamamu.” Mae menghiburnya.
Joe menggelengkan kepala. “Seharusnya aku yang menghiburmu saat ini, Mae. Bukannya kau. Mom sungguh keterlaluan. Bagaimana mungkin dia membiarkanmu sendirian di sini sementara aku tidak ada?”
“Sudahlah, kau pikirkan nanti saja soal ini. Ohya, kemarin kau datang bersama temanmu?”