Di pintu luar rumah sakit, dua orang pemuda berkulit gelap tampak berdiri menunggu. Seorang berjaket merah, dan satunya lagi berjaket hitam dengan topi. Yang berjaket merah adalah Azzam, pemuda keturunan Lebanon yang berperawakan tinggi besar dengan sedikit cambang yang tercukur rapi. Sementara yang berjaket hitam dengan topi berwarna putih bergaris biru tua adalah Bell, pemuda Afro-Amerika yang berperawakan ramping dan atletis dengan sorot mata tajam. Tinggi badan mereka berdua hampir sama dengan Joe.
“Hey!” sapa mereka begitu Joe keluar.
“Apa kabar, Bell, Azzam?” sapa Joe. Mereka berangkulan, saling menepuk bahu.
Bell dan Azzam adalah dua teman karibnya sejak kecil. Mereka bersekolah di tempat yang sama. Dari mereka bertiga, Bell yang paling temperamental. Sedangkan Azzam lebih santai dan sering menjadi penengah jika kedua temannya mulai berselisih.
“Bagaimana kondisi nenekmu?” tanya Bell.
“Mae masih lemah, tapi sudah bisa bicara,” kata Joe. “Kalian ingin menjenguk Mae?"
Bell menoleh pada Azzam untuk meminta persetujuan. Azzam mengangguk, tanda memberi kesempatan pada Bell untuk bicara lebih lanjut.
"Ada apa?" tanya Joe.
Bell mendehem sebentar sebelum berkata, ”Adikmu, Nate. Kami memergokinya tadi sedang menjual heroin kepada seseorang, di samping bangunan kosong dekat sekolahnya.”
Joe menatap tajam pemuda bertopi itu. “ Kau bercanda, bukan?”
Bell menggeleng. “Kau bisa tanyakan sendiri padanya.”