Pagi hari, Joe bangun lebih awal seperti biasa. Tepat pukul lima pagi dia menuju dapur, menaruh beberapa kerat roti di meja untuk sarapan, meraih segalon susu dari kulkas dan cereal dari lemari, serta empat buah mangkuk.
Ibunya masih tidur. Terdengar suara guyuran air dari lantai atas, pertanda Nate sedang mandi. Adik bungsunya itu biasa bangun pagi seperti dirinya. Sementara Janelle bangun lebih siang, dan selalu heboh tergesa-gesa menyiapkan diri ke sekolah. Joe memutuskan untuk mandi dulu, karena badannya terasa lengket oleh keringat.
Guyuran air hangat membuat pori-porinya terasa ringan. Uap yang menguar menghilangkan rasa letihnya. Joe menatap dirinya di cermin. Butir-butir air yang membasahi rambut dan kulit coklatnya membuat badannya terlihat lebih segar. Namun matanya masih nampak kuyu lantaran kurang tidur semalaman.
Nate sudah siap di meja makan, menunggu Joe. Janelle tidak seperti biasanya, dia ternyata juga bangun pagi dan sudah berdandan, lebih menor dari biasanya.
Joe memperhatikan kedua adiknya. Janelle, adik perempuannya yang lincah dan periang ini berkulit lebih terang dibandingkan dia dan Nate. Warna rambutnya seperti keluarga ayahnya. Sementara Joe dan Nate mewarisi warna kulit campuran dari ayah dan ibunya dengan proporsi warna lebih gelap dan keriting pendek. Garis wajah dan mata mereka juga hampir serupa. Rahang bagus, dengan sepasang mata hitam yang dilindungi alis tebal. Bedanya, sorot mata Nate masih kekanakan dan rahangnya belum terpahat penuh seperti Joe.
Joe kembali menatap Janelle. “Ganti bajumu dengan yang lebih sopan. Jangan pakai rok pendek,” perintahnya.
Janelle melengos. “Aku sudah besar. Aku bebas memakai baju apa saja.”
“Jan, ganti baju. Sekolahmu bukan diskotik!” Suara Joe mulai meninggi.
Janelle merengut, lalu menghentakkan kaki dengan jengkel. “Kenapa kau selalu mengaturku seperti ini? Aku bukan anak kecil lagi!”
“Karena aku kakakmu, dan kau masih 16 tahun. Kau masih ada di bawah pengawasanku,” jawab Joe tegas.
“Tunggu sampai usiaku 17 tahun nanti. Aku akan meninggalkanmu, dan pergi dari rumah yang membosankan ini!”
“Terserah,” balas Joe, “Tapi selama masih di sini, kamu harus patuh padaku.”
Nate menyela sambil mengunyah roti, “Dia sudah punya pacar.”
Janelle melotot pada adiknya. Tapi Nate tidak berhenti menggodanya. “Aku mengintip diarinya... whoaaa, ada gambar hati besar. Rupanya pacar Jan adalah tetangga kita sendiri. Jadi kalau dia minggat, kita tidak perlu jauh-jauh mencarinya.”
Nate tertawa tergelak-gelak, sembari berkelit menghindari sambaran tutup botol yang dilempar oleh Janelle.
“Be smart, Jan,” ujar Joe. “Kau boleh punya pacar, tapi carilah anak baik dan otaknya berisi. Supaya kau tidak dipermainkan olehnya.”