Rasa gusar di hatinya membuat Joe sedikit tidak ramah. Beberapa orang di rumah sakit memandangnya dengan heran. Biasanya Joe selalu menyapa atau melempar senyum kepada mereka. Kali ini tidak. Dia langsung bergegas menuju ruang tempat Mae dirawat.
“Ada apa?” tanya Mae.
“Tidak ada apa-apa,” Joe menjawab dengan lesu.
“Sabarlah,” ujar Mae pelan.
Joe meraih tangan Mae dan menggenggamnya dengan erat.
“Sabar itu ternyata tidak mudah, Mae.”
Mae tersenyum bijak. “Siapa bilang itu mudah, hm?”
Joe melekatkan tangan Mae yang masih digenggamnya itu ke dagunya. “Kalau bukan karena kau yang mengajariku, Mae, tidak mungkin aku bisa bertahan untuk tetap menggunakan akal sehatku.”
“Kau menemui ayahmu lagi?”
“Ya. Dan seperti biasa, dia menolakku. Kami tidak butuh uang, Mae. Kami butuh dia sebagai ayah. Tetapi sekarang dia malah punya anak dengan perempuan lain itu! Keterlaluan!”
Mae menghela nafas. “Kau sudah tahu, sekeras apapun usahamu untuk menyatukan orangtuamu kembali, tidak ada gunanya. Kalianlah yang harus memperjuangkan kebahagiaan kalian sendiri. Dengan atau tanpa ayah dan ibumu.”
Joe menunduk. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk kedua adikku, Mae. Janelle dan Nate masih membutuhkan perhatian. Aku tidak bisa mengandalkan Mom. Kondisinya sudah parah.”
“Ya, aku tahu.”
“Oh, tadi Jules datang ke sini,” ujar Mae.
“Oh ya?”
“Dia ke toko dulu membeli kabel charger, katanya.”
Belum sempat Joe berkomentar, terdengar suara ketukan di pintu. Tiga temannya muncul. Jade, Bell, dan Azzam. Mereka pun saling berangkulan dan bertanya kabar masing-masing.
“Hai Jade,” sapa Joe ramah sambil merangkulnya dengan akrab.
Jade, gadis langsing berdarah Latino itu membalas pelukan Joe. “Lama sekali aku tidak bertemu denganmu, Joe. Kau jadi kurus sekarang.”
“Yeah, aku kurang tidur belakangan ini. Duduklah.”
Wajah Joe yang semula muram berubah menjadi cerah. Apalagi ada Jade, bintang cheerleader di sekolahnya dulu. Gadis manis berlesung pipit dan berambut ikal panjang sepinggang itu benar-benar menjadi penghangat suasana.
Bell dan Azzam memperhatikan gerak-gerik Jade. Mereka saling melirik penuh arti. Azzam berdehem. “Jade sebenarnya ingin minta bantuanmu, Joe.”
“Ohya?” Joe menoleh ke arah Jade. “Bantuan apa?”
“Dia perlu teman untuk datang ke pesta di rumah Paris. Kebetulan aku dan Bell ada keperluan lain, jadi kami tidak bisa pergi menemaninya.”
“Benar begitu, Jade?”
Gadis itu hanya tersenyum-senyum.