Di luar gedung, Joe mengejar Jade yang melangkah dengan gusar kembali ke mobilnya. “Hey, tunggu dulu!” panggilnya.
“Tidak ada yang perlu kutunggu!” teriak Jade ketus. “Kau lebih membelanya daripada aku!”
“Aku tidak membela siapa-siapa. Aku hanya bilang, tidak perlu bermusuhan terus. Lagipula rambutmu hanya perlu dipotong sedikit. Tidak masalah, kan?” bujuk Joe.
“Bukan hanya soal rambutku! Tapi dia mempermainkanku!”
“Tenanglah dulu....”
Jade melotot marah kepada Joe. “Kenapa sih?! Apa dia lebih penting daripada aku?!”
“Bukan begitu. Hey, hey.... jangan pergi dulu!”
Jade tidak memperdulikan Joe lagi. Dengan gusar dia membuka pintu mobilnya dan menyalakan mesin. Joe akhirnya menyerah. Dibiarkannya Jade berlalu dari hadapannya, dan dia kembali menghampiri Azzam dan Bell. Kedua temannya itu tidak dapat lagi menahan geli. Tawa mereka pun pecah membahana.
“Benar-benar sial aku hari ini,” gerutunya pada mereka.
“Ternyata sifat jahilnya belum berubah juga,” ujar Bell terpingkal-pingkal..
“Hey, apa kau tidak memperhatikan maksud di balik tindakannya itu?” tanya Azzam. “Dia tidak rela membiarkanmu pergi dengan gadis lain!”
“Tentu saja. Jade adalah saingan beratnya. Mana mungkin dia mau mengalah begitu saja.”
“Kau belum mengerti rupanya, ya?” tanya Azzam.
“Tentang apa?” tanya Joe.
“Jules menyukaimu! Kau pikir buat apa gadis seperti dia bertingkah seperti itu, kalau tidak ada maunya?”
“Ah, dia hanya ingin berteman.”
Azzam mengibaskan tangannya. “Omong kosong. Aku tidak percaya. Sejak dulu aku tidak percaya kalau dia hanya ingin berteman denganmu. Pasti lebih dari itu!”
Joe mengedikkan bahu. “Aku tidak mau berpikir macam-macam. Bagiku, siapapun boleh menjadi temanku dan meminta bantuanku jika perlu. Aku akan membantu semampuku.”
“Ah, kau ini. Jangan kau kira kami tidak tahu apa yang kau rasakan pada gadis itu.”
Joe tergelak mendengar sindiran Azzam.
“Kalau aku jadi kau, pasti akan kusambar dia.” Bell menimpali. “Gadis secantik itu, sayang kalau sampai disambar orang lain.”
“Aku bukan kucing sepertimu, Bell.”
Ganti Bell dan Azzam yang tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Joe. Azzam mengangkat kedua telapak tangannya ke muka dan menirukan bentuk cakar kucing. “Meowww!!”
Bell membalasnya dengan menirukan suara kucing yang sedang mendengkur. “Prrrrr....!”
Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa kau masih juga menyangkal perasaanmu sendiri?” ledek Azzam.
“Aku tidak tahu apakah dia mau menerima, jika aku berkata terus-terang,” ujar Joe.
“Coba saja dulu. Tanya padanya, dan minta dia untuk terbuka tentang perasaannya. Kalaupun dia menolakmu, toh kau masih bisa berteman dengannya,” ujar Bell. “Atau kau perlu bantuanku?”
Joe menggelengkan kepala. “Biar kucoba sendiri lain waktu.”
“Bagus.”
Joe hanya tersenyum kecil. “Sejujurnya kalau harus memilih, kurasa Jade lebih mudah buatku,” ujar Joe.